Ada yang Tak Lazim dalam Percepatan Pembahasan Sejumlah RUU
Berita

Ada yang Tak Lazim dalam Percepatan Pembahasan Sejumlah RUU

Potensial melakukan korupsi legislasi.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Kompleks parlemen di Senayan. Foto: RES
Kompleks parlemen di Senayan. Foto: RES

Pembahasan dan pengesahan secara mendadak sejumlah RUU di Senayan memantik pertanyaan dan tanggapan publik. Masa tugas anggota DPR periode 2014-2019 tinggal menghitung hari, tetapi mereka –bersama Pemerintah-- mengesahkan sejumlah RUU menjadi Undang-Undang meskipun sebagian mendapat kritik dari masyarakat. Tak hanya revisi UU KPK, tetapi juga revisi UU Perkawinan, dan RUU MD3. Yang paling kontroversial adalah revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

 

Peneliti Setara Istitute, Iksan Yosarie menengarai telah terjadi legislative corruption dalam proses pembahasan dan pengesahan RUU Perubahan UU KPK di ujung masa jabatan. Materi muatannya dianggap melemahkan KPK dan memangkas energi pemberantasan korupsi. “Praktik legislasi sebagaimana digambarkan dalam parade kilat revisi UU KPK adalah manifestasi legislative corruption,” ujar Iksan kepada hukumonline, Selasa (17/9).

 

Ia memaknai korupsi legislasi sebagai kinerja legislasi yang memungkinkan dan memudahkan orang melakukan tindak pidana korupsi atau membuat lembaga-lembaga pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif bekerja memberantas korupsi. Dalam proses pembahasan pasca usul inisiatif DPR disetujui, KPK tak dilibatkan. Masukan dari masyarakat yang biasa dilakukan dalam pembahasan RUU cenderung diabaikan sehingga berpotensi membuat pengesahan RUU itu cacat formil.

 

Menurut Iksan, proses pembahasan UU KPK sama sekali tidak melibatkan KPK yang justru akan menjalankan UU KPK. Sementara KPK sendiri adalah institusi yang paling terkena dampak dari keberlakuan UU hasil revisi ini. Legislasi yang baik harus memastikan pemetaan dampak bagi para pihak, sehingga kehadiran produk hukum baru itu diterima (accepted) dan berjalan efektif.

 

(Baca juga: Nasib Pemberantasan Korupsi Dinilai Makin Terancam)

 

Iksan juga menyebutkan kecepatan respons Presiden Jokowi dengan mengutus perwakilan pemerintah membahas revisi UU KPK serta cepatnya proses pembahasan RUU  menggambarkan bahwa niat pelemahan KPK memang sudah dirancang sejak awal dan hanya menunggu momentum yang tepat di mana setelah iktikad dugaan pelemahan KPK itu dijalankan. Momentum itu ada pada kemenangan Jokowi dalam Pemilu 2019 dan di penghujung akhir masa jabatan anggota DPR 2014-2019.

 

“Kondisi Jokowi yang sudah dipastikan memasuki periode kedua kepemimpinannya pada 2019-2024, secara politik tidak lagi memerlukan citra publik yang konstruktif untuk memberikan efek elektoral bagi dirinya, karena Jokowi tidak bisa lagi mencalonkan sebagai presiden mendatang,” terangnya.

 

Iksan menengarai Jokowi seolah memperlihatkan dirinya sebagai petugas partai yang secara patuh menundukkan diri pada kehendak partai-partai politik. Sementara momentum masa berakhirnya DPR Periode 2014-2019 telah memberikan keleluasaan pada segelintir penguasa parlemen menjalankan keinginan untuk melemahkan KPK yang sudah sejak awal terus diujicobakan.

Tags:

Berita Terkait