Titik Nadir
Editorial

Titik Nadir

​​​​​​​Upaya pelemahan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Resmi sudah DPR bersama Pemerintah merevisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Belasan pasal baru hingga puluhan substansi perubahan disematkan dalam perubahan kedua atas UU yang lahir 17 tahun silam itu. Isinya, membuat pemberantasan korupsi berada di titik nadir.

 

Kekhawatiran pemberangusan terhadap wewenang lembaga antikorupsi itu memuncak. Sejumlah pasal dalam UU yang baru diketok berpotensi semakin melemahkan wewenang lembaga antikorupsi tersebut. Sebut saja keberadaan Dewan Pengawas menggantikan Penasihat KPK yang menjadi bab tersendiri dalam UU. Luar biasa kewenangan yang dimiliki Dewan Pengawas.

 

Selama ini, penanggung jawab tertinggi berada di pimpinan KPK, namun dalam UU terbaru sudah tak berlaku lagi. Kerja-kerja penindakan mulai dari penyadapan, penggeledahan hingga penyitaan harus memperoleh izin dari Dewan Pengawas. Dewan ini dipilih oleh panitia seleksi yang dibentuk Presiden. Independensi KPK makin tergadai.

 

Ditambah lagi, ada kewenangan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan yang perkaranya tak selesai dalam waktu dua tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan ini dilaporkan kepada Dewan Pengawas. Jika alasannya penghormatan terhadap hak asasi manusia, substansi yang menyebutkan penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK setelah ditemukan bukti baru atau melalui putusan praperadilan, menjadi tak relevan lagi. Jadi, buat apa ada kewenangan SP3? Lebih baik tidak perlu ada wewenang itu.

 

Upaya pelemahan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Lantaran dilakukan melalui cara-cara yang katanya legal sesuai kewenangan. Tapi, apakah hal ini sejalan dengan upaya pemerintah yang ingin memberanguskan korupsi dari negeri yang tercinta? Apakah substansi tersebut bukan malah mengerdilkan wewenang KPK sebagai lembaga yang bertugas memberantas korupsi? Atau, apakah keberadaan KPK memang sudah tidak dibutuhkan lagi?

 

Catatan KPK, sejak tahun 2004 hingga 2018, profesi atau jabatan yang terbanyak melakukan tindak pidana korupsi adalah legislator (anggota DPR/DPRD) dengan jumlah 247 orang. Posisi kedua adalah swasta dengan jumlah 240 orang. Diikuti dengan eselon I/II/III 199 orang, lainnya 109 orang, walikota/bupati dan wakil sebanyak 101 orang, kepala lembaga/kementerian sebanyak 26 orang, hakim 22 orang, gubernur 20 orang, pengacara 11 orang, komisioner 7 orang, jaksa 7 orang, korporasi 5, duta besar 4 orang dan polisi 2 orang.

 

Jika dilihat dari jumlah, sejak 2011 hingga sekarang, pelaku korupsi terus meningkat. Ini mengindikasikan bahwa kerja KPK masih dibutuhkan masyarakat dalam memberantas korupsi. Seharusnya, KPK didukung dengan amunisi yang memadai, bukan dipreteli sehingga menggunakan amunisi seadanya atau bahkan tanpa senjata. Jika memang ini yang dikehendaki, tak sampai dua dasawarsa KPK berubah dari Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Kematian Pemberantasan Korupsi.

 

Hukumonline.com

Tags:

Berita Terkait