Konvensi Mediasi Singapura Dinilai Tak Perlu Buru-buru Diratifikasi
Berita

Konvensi Mediasi Singapura Dinilai Tak Perlu Buru-buru Diratifikasi

Yang lebih penting untuk dilakukan penyesuaian adalah me-review UU tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berikut aturan turunannya.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Peresmian International Mediation & Arbitration Centre (IMAC), Rabu (18/9). Foto: HMQ
Peresmian International Mediation & Arbitration Centre (IMAC), Rabu (18/9). Foto: HMQ

Tepat pada 7 Agustus 2019, United Nation Convention on International Settlement Agreements Resulting from Mediation (Konvensi Mediasi Singapura/KMS) resmi diumumkan dan ditandatangani oleh sebanyak 46 Negara, termasuk 2 kekuatan ekonomi terbesar dunia yakni Amerika Serikat (AS) dan China. Angka penandatanganan ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penandatangan pertama kalinya Konvensi New York pada Juni 1958 hanya oleh 10 Negara.

 

Dari penelusuran hukumonline melalui uncitral.un.org Indonesia belum turut serta menandatangani Konvensi ini. Sejumlah pakar dan praktisi yang hadir dalam peresmian International Mediation & Arbitration Centre (IMAC), Rabu (18/9), menggelar diskusi terbuka guna mendiskusikan apa saja muatan aturan Konvensi Mediasi Singapura? Apa saja kelebihan dan kelemahannya? Implikasi apa saja yang dihasilkan bilamana Indonesia ikut atau tidak ikut meratifikasi konvensi ini.

 

Ketua BANI sekaligus pembina IMAC, Husseyn Umar menyoroti bahwa Konvensi Mediasi Singapura sifatnya cenderung mengatur hal-hal yang bersifat administratif. Secara muatan, katanya, sangat mirip dengan New York Convention 1958. Bedanya NY Convention 1958 mengatur soal penyelesaian sengketa melalui arbitrase (jalur adjudikatif/dengan adanya suatu putusan), sedangkan KMS mengatur penyelesaian sengketa dengan jalur non-adjudikatif yakni mediasi.

 

“Menariknya PBB menganggap perlu mengembangkan penyelesaian sengketa non-adjudikatif ini secara internasional hingga akhirnya konvensi ini diresmikan tanggal 7 Agustus 2019 lalu di Singapura dan Dihadiri oleh Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong,” katanya.

 

(Baca juga: Tak Penuhi Syarat dan Prosedur Ini, Putusan Arbitrase Asing Terancam Tak Bisa Dieksekusi)

 

Lebih lanjut, katanya, mediasi sebagai langkah non-adjudikatif dipandang UN General Assembly merupakan cara yang menarik untuk dikembangkan dalam penyelesaian sengketa antar negara-negara yang memiliki perbedaan sistem hukum. Masalahnya, katanya, dalam KMS tidak muncul adanya peran pengadilan sama sekali untuk melakukan enforcement terhadap hasil mediasi. KMS disebutnya hanya menunjuk suatu lembaga yang bertugas meng-administered hasil-hasil mediasi antar negara.

 

Dengan begitu, Husseyn mengibaratkan konvensi ini terlepas dari peran fungsi pengadilan, sehingga dikhawatirkan hasil mediasi yang dicapai oleh pelaku bisnis antar satu negara dengan negara lain bisa menimbulkan masalah hukum baru dalam implementasi. Untuk itu, ia mengingatkan Indonesia tak perlu terburu-buru melakukan ratifikasi, justru yang lebih penting untuk dilakukan penyesuaian adalah me-review UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berikut aturan turunannya.

Tags:

Berita Terkait