Ramai-Ramai Minta Penundaan Pengesahan RKUHP
Utama

Ramai-Ramai Minta Penundaan Pengesahan RKUHP

Bagi Komnas masih ada sejumlah ketentuan yang kurang tepat antara lain terkait pengaturan pelanggaran HAM berat, ketidakpastian hukum, dan penerapan fungsi hukum pidana sebagai ultimum remedium. Sebagian pasal-pasal dalam RKUHP masih bermasalah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi dan gabungan Mahsiswa se-Jakarta menggelar aksi menolak pengesahan RKUHP di depan gedung DPR Jakarta, Senin (16/9). Foto: RES
Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi dan gabungan Mahsiswa se-Jakarta menggelar aksi menolak pengesahan RKUHP di depan gedung DPR Jakarta, Senin (16/9). Foto: RES

Pembahasan rancangan KUHP (RKUHP) bakal memasuki tahap finalisasi yakni pengesahan menjadi UU dalam rapat paripurna terdekat. Sebab, pemerintah dan DPR telah menyepakati substansi dalam RKUHP. Namun, sejumlah kalangan masih melihat ada beragam persoalan dalam materi muatan RKUHP, sehingga mendesak pemerintah dan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP.

 

Komisioner Komnas HAM Bidang Pengkajian dan Penelitian, M Choirul Anam mendukung agar pengesahan RKUHP menjadi UU sebaiknya ditunda. Lembaganya juga melihat masih ada banyak persoalan dalam draft RKUHP tertanggal 15 September 2019 tersebut. Sedikitnya, ada 3 hal yang menjadi sorotan Komnas HAM.

 

Pertama, paradigma RKUHP yang berbeda dengan prinsip HAM menurut hukum internasional. Anam melihat dalam kasus pelanggaran HAM berat, misalnya, kejahatan terjadi karena adanya kebijakan atau kekuasaan yang korbannya masyarakat sipil. Karena itu, pelanggaran HAM berat disebut sebagai kejahatan yang sangat serius (the most serious crime).

 

Nah, pelanggaran HAM berat yang diatur dalam RKUHP yakni genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. RKUHP ini memuat ketentuan yang mengatur adanya element of crime (unsur-unsur tindak pidana) dalam kejahatan tersebut. Menurut Anam, element of crime tidak bisa diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat karena sejatinya jenis kejahatan ini meminta pertanggungjawaban dari pembuat kebijakan.

 

Biasanya, element of crime ini digunakan dalam kasus pidana biasa karena yang dikejar adalah niat jahat dari pelaku/individu. “Dalam kasus pelanggaran HAM berat tidak ada niat jahat dari pelaku di lapangan karena mereka menjalankan perintah,” kata Anam dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM di Jakarta, Kamis (19/9/2019). Baca Juga: Catatan Komnas HAM terhadap Lima Isu dalam RKUHP

 

Dampak diterapkannya element of crime dalam kasus pelanggaran HAM berat seperti termuat dalam RKUHP yakni hukuman yang dikenakan bisa menyasar setiap individu yang menjalankan perintah di lapangan. Berat hukumannya nanti juga berbeda-beda tergantung tindakan yang dilakukan individu tersebut. Misalnya, melakukan perkosaan ancaman hukumannya 5 tahun, pembunuhan 10 tahun. “Penerapan hukum ini tidak tepat digunakan dalam kasus pelanggaran HAM berat,” kata Anam

 

Dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat, Anam mencontohkan yang dimintai pertanggungjawaban pihak yang membuat kebijakan atau pemegang kekuasaan. Konsep pertanggungjawaban ini menyasar pucuk pimpinan (rantai komando). Hukuman yang dijatuhkan berdasarkan kejahatan yang dilakukan, bukan element of crime. Ancaman hukum bagi pelaku pelanggaran HAM berat dalam RKUHP lebih rendah yakni 5-20 tahun. Sedangkan, UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (Ad Hoc), ancaman pidananya 10-25 tahun.

Tags:

Berita Terkait