Sinergi Pengawasan yang Butuh Energi
Resensi:

Sinergi Pengawasan yang Butuh Energi

Satu lagi buku tentang pengawasan lembaga peradilan terbit. Ditulis orang yang kompeten.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Sinergi Pengawasan yang Butuh Energi
Hukumonline

Prinsip checks and balances sering dimaknai sebagai pengawasan berantai. Tidak ada lembaga negara yang tidak diawasi. Ada pengawasan internal, ada pula pengawasan eksternal. Jika di luar kedua pengawasan itu masih ada pengawasan dari Sang Maha Mengawasi, maka jawabannya adalah lembaga peradilan. Hakim-hakim yang memeriksa dan memutus perkara mempertanggungjawabkan putusannya kepada Yang Maha Kuasa sejalan dengan irah-irah yang terdapat dalam putusan. Itu sebabnya para hakim sering dipandang sebagai wakil Tuhan.

Komisi Yudisial adalah lembaga yang diberi wewenang melalui atribusi UUD 1945 untuk melaksanakan fungsi pengawasan eksternal terhadap lembaga peradilan. Mula-mula pengawasan itu dipahami secara luas, hingga akhirnya menyempit setelah ada upaya hukum puluhan hakim agung, dan diputus Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi dan perubahan Undang-Undang, kewenangan Komisi Yudisial mengalami pergeseran. Tetapi pergeseran itu tak menghapus sama sekali kewenangan Komisi Yudisial untuk ‘menjaga dan menegakkan kehormatan. Keluhuran martabat, serta perilaku hakim’. Dalam konteks ini, Komisi Yudisial bahkan diberikan amunisi meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Di satu sisi, penyadapan adalah satu isu sensitif saat ini sehingga Komisi Yudisial perlu berhati-hati. Di sisi lain, banyak yang harus dilakukan Komisi Yudisial untuk memastikan kewenangan yang diberikan perundang-undangan berjalan sebagaimana mestinya. Komisi Yudisial hampir pasti membutuhkan energi banyak agar bisa menjalankan fungsi pengawasan hingga ke daerah-daerah tempat hakim bertugas. Apalagi yang diawasi bukan hanya satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pembentukan kantor penghubung hanya salah satu jalan yang ditempuh untuk merepresentasikan ‘perwakilan’ atau kehadiran Komisi Yudisial di daerah (hal. 18).

Energi pengawasan itulah yang coba digali, dihidupkan, dan diperkuat oleh Farid Wajdi dalam buku ini. Ayah empat orang anak ini bukan orang asing dalam pengawasan hakim. Kini, ia masih tercatat sebagai komisioner Komisi Yudisial, menjabat sebagai Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi. Bisa dibilang, tulisan-tulisan dalam buku ini diuraikan berdasarkan pengamatan dan pengalamannya selama ini. Itu pula sebabnya, topik dalam buku ini relatif beragam meskipun benang merahnya adalah menjaga integritas hakim. Para pembaca perlu melihat setiap topik dalam jejalin benang merah tadi.

Hukumonline.com

Satu dua topik yang diulas pernah menjadi pusat perdebatan. Misalnya, Farid berusaha menyajikan pandangannya kepada para pembaca tentang siaran langsung persidangan. Di Indonesia, polemik siaran langsung menghangat saat berlangsung persidangan satu pembunuhan, dan kasus dugaan penistaan agama. Dua-duanya ditangani Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di satu sisi ada upaya menjaga marwah pengadilan dengan membatasi siaran langsung dan memperkuat fair trial, tetapi di sisi lain ada upaya pers mendapatkan informasi dari proses pengadilan.

Dan polemik tentang keterbukaan informasi persidangan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat juga menjadi perdebatan ketika pers banyak mengungkap detil kasus Oliver North, Marion Barry, Leon Helmsey, Pamela Smart, dan OJ Simpson. Pers dianggap mempengaruhi pandangan para juri yang memutus perkara-perkara tersebut (Untuk bacaan yang relevan dapat melihat tulisan Stephen J Krause, “Punishing the Press: Using Contempt of Court to Secure the Right to a Fair Trial”, 1996).

Farid sepakat dan menegaskan bahwa sidang terbuka untuk umum itu adalah suatu asas hukum (rechtsbeginsel) yang bersifat imperatif. Sedemikian imperatifnya sehingga tidak hanya diwajibkan di sidang tingkat pertama, juga di tahap Mahkamah Agung. Jika asas terbuka itu tak dipenuhi, putusan majelis hakim batal demi hukum, tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun, ada hal lain yang tak kalah penting. Pengadilan Indonesia telah memiliki panduan dan tata tertib yang harus dipatuhi semua orang ketika memasuki ruang sidang, termasuk jurnalis televisi. Prinsipnya, mereka harus meminta izin ketua sidang. Pasal 217 KUHAP menegaskan hakim ketua sidang memimpin jalannya pemeriksaan persidangan dan memelihara tata tertib persidangan. Aturan ini menempatkan ketua sidang sebagai ‘orang yang berwenang menentukan jalannya pemeriksaan terdakwa, semua tanya jawab harus melalui dia, dan semua keterangan dan jawaban ditujukan kepadanya’. Farid berpandangan bahwa siaran langsung proses persidangan dapat menimbulkan masalah independeni dan martabat pengadilan. Setidaknya ada empat alasan yang diuraikan dalam buku setebal 146 ini  (hal. 36-38).

Tags:

Berita Terkait