Sasar Sejumlah Profesi, Aturan Contempt of Court dalam RUU KUHP Perlu Diperjelas
Utama

Sasar Sejumlah Profesi, Aturan Contempt of Court dalam RUU KUHP Perlu Diperjelas

Dalam RUU KUHP, profesi advokat disebut eksplisit sebagai salah satu pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam diskusi tentang contempt of court dalam RUU KUHP. Foto: Justika
Para pembicara dalam diskusi tentang contempt of court dalam RUU KUHP. Foto: Justika

Anda seorang advokat? Jika ya, cobalah baca aturan dalam bab tentang tindak pidana terhadap proses peradilan yang ada dalam RUU KUHP. Pasal 282 RUU ini langsung menunjuk advokat sebagai subjek yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika melanggar ketentuan ini.

Ada dua jenis tindak pidana yang mengancam advokat di pasal tersebut. Pertama, mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien jika mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan kliennya. Kedua, mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

Advokat bukan satu-satunya profesi yang dapat terancam. Kalangan jurnalis juga bisa terancam jika mempublikasikan tanpa izin berita persidangan. Orang yang memperbolehkan publikasi bisa bernasib sama. Dengan kata lain, banyak subjek hukum yang terimbas jika pasal-pasal mengenai contempt of court dalam RUU KUHP disahkan.

Dalam diskusi yang digelar Justika dan Law’ Sons & Co di Jakarta, Kamis (19/9) lalu, terungkap bahwa masih banyak rumusan RUU KUHP, khususnya pasal-pasal contempt of court, yang kalimatnya kurang jelas. Beberapa kata kunci dalam rumusan justru tak memiliki definisi yang jelas. Diskusi ini mengangkat tema ‘Dampak Pasal Contempt of Court dalam RKUHP untuk Kebebasan Berpendapat’.

(Baca juga: Rencana Pengesahan RKUHP Disebut Tanpa Legitimasi).

Managing partner Law’s Sons & Co, Donny W. Tobing, berpendapat ketiadaan definisi yang jelas dapat berdampak pada penafsiran yang berbeda di kalangan penegak hukum. Perbedaan penafsiran dapat menimbulkan masalah dalam praktik.

Contohnya, frasa ‘sidang pengadilan’ dalam Pasal 281 RUU KUHP. Disebutkan sidang pengadilan adalah proses persidangan atau pejabat-pejabat yang terlibat dalam proses persidangan, misalnya panitera, advokat, dan penuntut umum. Menurut Donny, penjelasan ini dapat diartikan bahwa sidang pengadilan dalam RUU KUHP lebih dikualifikasi sebagai perkara pidana bukan untuk perkara Perdata, TUN, agama, atau hubungan industrial, dan kasus kepailitan. Pertanyaannya, apakah perbuatan pidana yang dimaksud dalam Pasal 281 hanya berlaku untuk sidang perkara pidana?

Contoh lain yang disebut Donny adalah frasa ‘perintah pengadilan’. KUHAP dan perundang-undangan lebih mengenai penetapan atau putusan pengadilan. Lantas, apa yang dimaksud dengan perintah pengadilan? “Apakah perintah pengadilan yang dimaksud adalah putusan atau penetapan pengadilan yang dikenal dalam UU Kekuasaan Kehakiman atau UU Mahkamah Agung, atau diluar dari putusan atau penetapan pengadilan?,” tanya Donny.

Tags:

Berita Terkait