Terancam Disrupsi Era Digital, Pers Harus Ubah Prioritas Sumber Pendanaan
Berita

Terancam Disrupsi Era Digital, Pers Harus Ubah Prioritas Sumber Pendanaan

Cara kerja media yang tak menjaga kualitas berita tak layak ditiru.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Diskusi dua dekade UU Pers di Dewan Pers. Foto: Dhani
Diskusi dua dekade UU Pers di Dewan Pers. Foto: Dhani

Tepat dua dekade sejak berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers Tanah Air menemukan sebuah tantangan baru. Jika dulu salah satu momok yang paling ditakuti pers adalah ancaman pembredelan, kini tantangan utamanya adalah bagaimana menemukan model bisnis yang relevan untuk menjaga kesinambungan perusahaan pers.

Era disrupsi yang tengah melanda dunia menjadikan pers berada dalam pusaran ketidakpastian. Perubahan model bisnis dari konvensional menjadi penggunaan platform daring (online) ternyata tidak cukup mampu dijawab melalui penyesuaian diri sebagian perusahaan pers yang sebelumnya menggunakan model bisnis cetak.

Komisaris PT Tempo Inti Media, Bambang Harymurti mengungkapkan hingga kini belum ditemukan model bisnis pers yang benar-benar mapan di era digital. Yang jelas, bisnis pers cetak tergerus oleh media daring. “Sebagai dampak dari disrupsi, era digital mengancam keberlangsungan model bisnis pers konvensional,” ujar Bambang dalam sebuah diskusi di Hall Dewan Pers, Senin (23/9).

Menurut Bambang, selama era digital berlangsung, perusahaan pers belum bisa menemukan model bisnis yang stabil. Kondisi ini berdampak kepada pendapatan media. Belum ada satu pun media masa yang secara konsisten memperoleh pemasukan yang terus meningkat dari iklan setelah berusaha merubah platform bisnisnya dari cetak ke online.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, Bambang berpendapat sumber pendapatan utama media yang selama ini bersumber dari iklan tidak lagi dijadikan priorotas. Menurut Bambang, media di luar negeri menggunakan pola dengan membangun engagement dengan pembacanya melalui produk berita yang berkualitas serta akses berita melallui aplikasi berbayar. “Bukan dari pengiklan tapi dari jumlah pembaca setia yang berlangganan. Seperti The New York Times,” ujar Bambang.

Namun, menurut Bambang, masih ada harapan untuk media cetak hidup di Indonesia. Sebab, masa transisi di era teknologi yang masih berjalan sehingga peran media cetak masih terus diperlukan. Asalkan ada upaya menyesuaikan diri dengan secara perlahan. Salah satunya dengan bertransformasi menggunakan platform online.

“Koran yang sukses adalah yang konsen kepada pembaca, bukan kepada iklan. Saya yakin kalau pembaca banyak, punya komunitas, maka pers cetak akan hidup. Makin tinggi pengaruhnya akan makin sukses secara bisnis,” terangnya.

Tags:

Berita Terkait