Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit tepat satu tahun berlangsung. Inpres ini menjadi menjadi diharapkan dapat membenahi tata kelola dan perizinan kelapa sawit yang sebelumnya didominasi kepentingan korporasi. Sayangnya, implementasi Inpres ini dianggap tidak berjalan optimal. Masih banyak terdapat perkebunan-perkebunan kelapa sawit tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware saat menyampaikan hasil laporan satu tahun Inpres 8/2018. Menurutnya, salah satu amanat utama Inpres tersebut untuk mengatasi kasus tumpang tindih lahan sawit dengan hutan tidak terselesaikan. Menurutnya, implementasi Inpres moratorium sawit masih sekadar tahap persiapan dan koordinasi tingkat kementerian dan lembaga.
“Kasus-kasus tumpang tindih perkebunan sawit di kawasan hutan yang menjadi perhatian publi pun belum ada yang terselesaikan melalu Inpres ini. padahal, beberapa di antaranya sudah ditetapkan bersalah, hanya tinggal eksekusi namun tidak dijalankan pemerintah,” jelas Inda dalam soft launching “Laporan Satu Tahun Implementasi Inpres Jauh Panggang dari Api”, Kamis (26/9).
(Baca: Implementasi Inpres Moratorium Sawit Dipertanyakan)
Dia juga mencatat dari 25 provinsi dan 247 kabupaten/kota yang memiliki perkebunan sawit mayoritas belum memberikan respon terhadap Inpres ini. “Kami mengatakan implementasi Inpres ini masih jauh panggang dari api karena tidak ada capaian signifikan,” tambahnya.
Dalam laporan tersebut terdapat berbagai masukan kepada pemerintah agar implementasi Inpres moratorium sawit dapat berjalan optimal di sisa 2 tahun terakhir, yakni:
|
Kritik terhadap implementasi Inpres ini juga disampaikan anggota Jaringan Pemantauan Independen Kehutanan (JPIK), Deden Pramudyana, dalam kesempatan sama. Dia menyatakan dalam pantauannya di Kalimantan Tengah ditemukan ekspansi perkebunan sawit hingga memasuki kawasan Taman Nasional Sebang.