Penolakan Revisi UU KPK Masuk Kategori ‘Kegentingan yang Memaksa’? Begini Penjelasan Ahli
Utama

Penolakan Revisi UU KPK Masuk Kategori ‘Kegentingan yang Memaksa’? Begini Penjelasan Ahli

Ada tiga kriteria yang dapat dijadikan acuan. Perppu baru bisa diterbitkan setelah revisi UU KPK sah dan diundangkan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Demo mahasiswa, pelajar dan elemen masyarakat lain yang menentang revisi UU KPK di depan DPR berujung bentrok beberapa hari lalu, Foto: RES dengan polisi
Demo mahasiswa, pelajar dan elemen masyarakat lain yang menentang revisi UU KPK di depan DPR berujung bentrok beberapa hari lalu, Foto: RES dengan polisi

Presiden Joko Widodo mempertimbangkan kemungkinan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas UU tentang Perubahan Kedua UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Presiden menyampaikan itu setelah bertemu sejumlah tokoh nasional di tengah aksi demonstrasi menolak revisi UU KPK itu di Jakarta dan sejumlah daerah. Aksi penolakan telah membawa korban, dua orang mahasiswa meninggal di Sulawesi Tenggara, dan seorang pelajar di Jakarta.

Penerbitan Perppu tak bisa sembarangan. UUD 1945 telah memberikan syarat agar Presiden dapat menerbitkan Perppu, yakni ada ‘kegentingan yang memaksa’. Pertanyaannya, apakah saat ini syarat kegentingan yang memaksa sudah terpenuhi jika Presiden ingin menerbitkan Perppu revisi UU KPK?

Daniel Yusmic, akademisi yang menulis disertasi tentang Perppu, memberikan jawaban. “Ukuran kegentingan yang memaksa adalah hak subyektif Presiden. Oleh karena itu hanya Presiden yang tahu apakah telah terpenuhi kegentingan yang memaksa atau belum (terpenuhi),” kata dosen Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Jakarta itu kepada hukumonline.

Lebih lanjut, Daniel menjelaskan putusan MK No. 138/PUU-VIII/2009 MK telah merumuskan tiga kriteria kegentingan yang memaksa. Putusan MK ini justru memperkuat hak subjektif Presiden, walaupun dalam putusan itu tidak tampak kepentingan yang memaksa. "Demonstrasi yang menolak perubahan terhadap revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hal yang biasa dalam negara hukum yang demokratis. Kecuali demonstrasi yang ada dapat mengganggu kalender ketatanegaraan misalnya bisa menggagalkan pelantikan anggota DPR dan DPD serta pelantikan Presiden dan Wapres," jelasnya.

(Baca juga: Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic).

Menurut Daniel, Perppu dan Judicial Review memang menjadi satu-satunya cara untuk mencabut UU KPK baru. Meskipun ketika rezim Orde Baru pernah ada hak veto dari Presiden Soeharto yang tidak menandatangani UU Penyiaran, dan Presiden BJ Habibie tidak meneken UU Kebebasan Menyampaikan Pendapat. Di era Presiden Megawati, ada UU Advokat yang tidak ditandatangani presiden.

Tetapi seiring munculnya UU No. 12 Tahun 2011, ditandatangani atau tidak oleh Presiden dalam waktu maksimal 30 hari, maka RUU yang sudah dietujui bersama wajib untuk diundangkan. "Itu yang terjadi di zaman SBY, UU Pemda karena beri kewenangan DPRD pilih kepala daerah, SBY berikan Perppu dibatalkan, sehingga Perppu menjadi solusi," terangnya.

Pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan normanya. RUU disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama DPR dan Presiden. Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Dalam hal sahnya RUU kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Kalimat pengesahan harus dibubuhkan pada halaman terakhir UU sebelum pengundangan naskah UU ke dalam Lembaran Negara.

Tags:

Berita Terkait