Menghadapi Buah Simalakama Perppu KPK: Sebaiknya Presiden Berbuat Apa?
Kolom

Menghadapi Buah Simalakama Perppu KPK: Sebaiknya Presiden Berbuat Apa?

Sebaiknya Presiden memerintahkan agar Perubahan UU KPK yang sudah disahkan dibahas secara akademis dan terbuka untuk umum.

Bacaan 2 Menit
Menghadapi Buah Simalakama Perppu KPK: Sebaiknya Presiden Berbuat Apa?
Hukumonline

Selasa, 17 September 2019, DPR mengesahkan Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengesahan ini mendatangkan kecaman bertubi-tubi dari berbagai lapisan masyarakat. Inti dari kecaman tersebut adalah pelemahan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi, karena KPK sudah menjadi bagian dari Pemerintah dan tidak lagi independen. Tidak lama berselang, timbul desakan agar Presiden mengeluarkan Perppu KPK. Hal ini menunjukkan pengundangan RUU KPK memang bermasalah.

 

Buah Simalakama

Awalnya Presiden menolak mengeluarkan Perppu KPK. Alasan yang dikemukakannya adalah RUU KPK merupakan inisiatif DPR. Terlepas dari berbagai desakan populis, alasan tersebut adalah benar dan dapat diterima secara konstitusional. Menurut Pasal 20:1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Pertama), DPR-lah yang memegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Jika Perppu membatalkan suatu UU yang sudah dibahas bersama oleh DPR dan Presiden karena desakan publik, maka akan terjadi krisis konstitusional. Perppu akan menjadi suatu pelecehan terhadap DPR. Di sisi lain, jika Presiden tidak mengeluarkan Perppu akan dianggap ingkar janji.

 

Perppu sebagai solusi

Namun setelah bertemu dengan sejumlah tokoh, pada 26 September 2019, Presiden pun bersedia mempertimbangkan penerbitan Perppu. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mafhud MD, menilai bahwa kegentingan memaksa yang menjadi dasar penerbitan Perppu sudah nyata dengan maraknya demonstrasi di berbagai belahan negeri. Senada dengan itu, Romo Franz Magnis-Suseno mengharapkan keberanian Jokowi membatalkan Perubahan UU KPK dengan menerbitkan Perppu. Namun Buya Syafi’i hanya mendukung penerbitan Perppu jika sudah tidak ada jalan lain.

 

Para tokoh memberikan tiga opsi kepada Presiden: legislative review, judicial review, dan Perppu. Yang pertama adalah memberikan kesempatan kepada Presiden beserta DPR periode 2019-2024 untuk mengubah lebih lanjut UU KPK. Dengan kata lain, Perubahan UU KPK tetap berlaku, dan secara paralel DPR dan Presiden mencoba merumuskan aturan yang bisa diterima oleh semua pihak terkait dengan KPK.

 

Judicial review adalah mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi bahwa Perubahan UU KPK bertentangan dengan UUD. Dalam skenario ini, Perubahan UU KPK tetap berlaku. Keputusan Mahkamah Konstitusi akan menjawab pertanyaan apakah Perubahan UU KPK bertentangan dengan UUD atau tidak. Di sini perlu dicatat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tidak akan bisa mengakomodasi semua aspirasi para penolak Perubahan UU KPK. Setelah pertemuan tersebut, Jokowi telah meminta agar draf Perppu disiapkan.

 

Penolakan terhadap Perppu

Wacana penerbitan Perppu tetap ditolak keras oleh sejumlah pihak. PDI-P sebagai pemenang pemilihan umum legislatif menolaknya. Pembantu terdekat Presiden juga menolaknya, dan berpendapat bahwa mekanisme hukum yang ada memungkinkan pengujian materiil atas UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, penolakan Perppu harus diarahkan kepada opsi pertama dan kedua.

 

Perppu adalah Produk Hukum Sementara

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah produk hukum yang dibuat sendiri oleh Presiden. Meskipun namanya Peraturan Pemerintah, Perppu setingkat UU, produk hukum yang dibuat bersama oleh DPR dan Presiden. Presiden berhak mengeluarkan Perppu dalam ihwal kegentingan memaksa. Demikian pasal 22:1 UUD NRI Tahun 1945.

Tags:

Berita Terkait