Panduan Pro Bono Permudah Masyarakat Mengakses Layanan Bantuan Hukum Gratis
Berita

Panduan Pro Bono Permudah Masyarakat Mengakses Layanan Bantuan Hukum Gratis

Panduan yang memuat segala informasi terkait penyelenggaraan pro bono, mulai dari ketentuan perundang-undangan, praktik lapangan, prosedur pengajuan, penilaian kelayakan, hingga peran beragam pemangku kepentingan yang terlibat.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Panduan Pro Bono Permudah Masyarakat Mengakses Layanan Bantuan Hukum Gratis
Hukumonline

Konsep pro bono sebenarnya sudah dikenal di Hindia Belanda, sejak kemunculan profesi advokat pada permulaan abad ke-20. Pro bono, yang dikenal dengan istilah bantuan hukum cuma-cuma, pada masa itu tidak berlaku untuk golongan Bumi Putera dan tertuang dalam Pasal 250 Herzien Inlandsch Reglemen (Reglemen Indonesia yang Diperbarui). Pasal ini mengatur tentang kewajiban pemberian bantuan hukum pada terdakwa dengan ancaman hukuman mati; dan siapa pun advokat yang ditunjuk, wajib memberikan bantuan hukum secara gratis.

 

Di masa kini, pro bono dapat dimaknai sebagai jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau sosial politik. Namun, tidak sama seperti bantuan hukum dan pro deo, konsep pro bono menempatkan peran advokat di pusatnya. Setidaknya, ada tiga hal yang mendasar yang dapat kita temukan dalam konsep pro bono, yakni: (1) pembiayaan jasa hukum untuk pro bono (yang ditanggung oleh advokat), (2) kriteria penerima pro bono (yaitu orang tidak mampu), dan (3) cakupan layanan pro bono (yaitu di dalam maupun di luar pengadilan).

 

Pro bono sendiri telah menjadi salah satu solusi pemerintah dalam mengupayakan akses terhadap keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu. Hanya saja, proses pengimplementasian pro bono di Indonesia tidak berarti bebas hambatan. Sebuah survei dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menemukan, masih ada pemahaman yang tumpang tindih dalam praktik pro bono. Terlebih, survei tersebut juga menyebutkan, masyarakat cenderung meminta bantuan hukum ke lembaga bantuan hukum ketimbang advokat. Ada tiga penyebabnya, yakni anggapan bahwa advokat lebih berorientasi pada materi, keraguan masyarakat akan kualitas pelayanan pro bono, dan keterbatasan pemahaman awam terhadap hukum.

 

Untuk mengakomodasi kebutuhan informasi masyarakat terhadap pentingnya layanan pro bono, sejak 2017, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) telah memulai inisiatif untuk menyusun suatu panduan yang dapat digunakan oleh Advokat dalam pemberian layanan pro bono. The Asia Foundation (TAF) melalui program eMpowering Access to Justice (MAJu) yang didanai the United States Agency for International Development (USAID) dan Hukumonline melanjutkan inisiatif tersebut dengan menyelenggarakan forum konsultasi membahas panduan pro bono yang dapat diakses baik oleh advokat maupun masyarakat. Segala informasi terkait penyelenggaraan pro bono, mulai dari kebijakan, praktik yang terjadi di lapangan, prosedur pengajuan, penilaian kelayakan, hingga peran dari beragam pemangku kepentingan yang terlibat dapat Anda akses dan dapatkan di sana.

 

Melalui sejumlah diskusi dan pengkajian, panduan ini diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan banyak pihak, dijadikan rujukan para praktisi hukum, dan dikembangkan sesuai dinamika praktik pro bono di Indonesia. Anda dapat langsung mengakses panduan ini melalui tautan ini.

 

Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan TAF melalui program MAJu yang didanai oleh USAID.

Tags:

Berita Terkait