Beragam Usulan Mengatasi Sulitnya Eksekusi Putusan Perdata
Utama

Beragam Usulan Mengatasi Sulitnya Eksekusi Putusan Perdata

Mulai dukungan eksekutif dan legislatif baik akses informasi maupun kebijakan; penerbitan kebijakan MA terkait prosedur teknis eksekusi putusan termasuk memperkuat peran ketua pengadilan dan juru sita; hingga membentuk direktorat eksekusi di setiap provinsi (pengadilan tinggi).

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber Diskusi Publik bertajuk 'Mewujudkan Sistem Eksekusi Putusan Perdata yang Efektif & Efisien' di Jakarta, Rabu (2/10). Foto: AID
Sejumlah narasumber Diskusi Publik bertajuk 'Mewujudkan Sistem Eksekusi Putusan Perdata yang Efektif & Efisien' di Jakarta, Rabu (2/10). Foto: AID

Setiap putusan sengketa perkara perdata seharusnya dilaksanakan baik secara sukarela maupun upaya paksa melalui permohonan eksekusi. Sebab, sejatinya hal tersebut untuk merealisasikan atau memulihkan hak keperdataan setiap warga negara yang terkait sengketa. Namun, faktanya hingga saat ini eksekusi putusan pengadilan perkara perdata sulit sekali dilaksanakan baik perkara perdata dalam lingkup perkara kecil atau besar dengan beragam kendala yang dihadapi. 

 

Misalnya, eksekusi putusan perdata tentang sengketa kepemilikan tanah kerap tidak dapat dilaksanakan karena ada perlawanan fisik dari Termohon. Contoh lain, eksekusi kasus lingkungan, putusan PN Meulaboh yang menghukum PT Kallista Alam membayar ganti rugi materil dan pemulihan lingkungan hidup tidak dapat dilaksanakan. Bahkan, perkara hak anak mendapat haknya dari ayahnya akibat perceraian saja sulit. Apalagi, eksekusi putusan perdata yang menyangkut aset sebuah perusahaan.

 

Persoalan ini mengemuka dalam paparan hasil penelitian “Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata di Indonesia” yang dilansir Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP). Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan studi lapangan (empiris) di 24 pengadilan negeri dan 12 pengadilan agama eksekusi, serta studi banding ke Belanda, Italia, dan Jerman.

 

Peneliti LeIP Muhammad Tanziel Aziezi memaparkan pada periode 2018 s.d. 2019, LeIP menemukan beberapa masalah pokok (faktor) yang menghambat keberhasilan eksekusi putusan perkara perdata, sehingga banyak eksekusi putusan perdata tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable). Seperti, keterbatasan kewenangan ketua pengadilan dan juru sita dalam melaksanakan eksekusi putusan perdata; standar pelaksanaan eksekusi putusan perdata tidak sama. Artinya, ada ketidakseragaman prosedur antarpengadilan ketika mengeksekusi putusan perdata.

 

Hal ini tentu berdampak terhambatnya pemenuhan hak, lemahnya kepercayaan publik terhadap pengadilan, ketidakpastian hukum, dan dalam skala lebih besar akan berpengaruh terhadap iklim bisnis,” ujar Tanzil dalam Diskusi Publik bertajuk “Mewujudkan Sistem Eksekusi Putusan Perdata yang Efektif & Efisien” di Jakarta, Rabu (2/10/2019). Baca Juga: Kasus Karhutla, Pemerintah Diingatkan Jalankan Putusan MA

 

Faktor lain, kata Tanzil, minimnya dukungan legislatif dan eksekutif dalam menjamin dan memastikan kelancaran pelaksanaan eksekusi putusan perdata. Selama ini pemerintah belum memberi akses kepada juru sita ataupun pemohon eksekusi untuk menelusuri aset termohon eksekusi. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada tidak mendukung terlaksananya eksekusi secara efekif dan efisien, serta lemahnya kompetensi juru sita melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai pelaksana eksekusi di lapangan.

 

Padahal, juru sita merupakan ujung tombak pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata. Fakta penetapan eksekusi hanya memuat informasi yang sangat terbatas tentang objek eksekusi, sehingga seringkali juru sita harus melakukan improvisasi menghadapi berbagai kendala yang terjadi di lapangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait