Hindari ‘Jebakan’ Lex Imperfecta dalam Penguatan Komisi Yudisial
Berita

Hindari ‘Jebakan’ Lex Imperfecta dalam Penguatan Komisi Yudisial

Jika ingin bertaji, Komisi Yudisial membutuhkan kewenangan yang bersifat desisif.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Diskusi buku Memperkuat Komisi Yudisial dalam Menjaga Integritas Wakil Tuhan. Foto: KY
Diskusi buku Memperkuat Komisi Yudisial dalam Menjaga Integritas Wakil Tuhan. Foto: KY

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat Komisi Yudisial di masa mendatang adalah melakukan revisi terhadap UU yang mengatur lembaga ini. Tetapi dalam revisi perlu diwaspadai rumusan kewenangan yang dalam prakteknya sulit dijalankan. Pengalaman Komisi Yudisial selama ini membuktikan adanya kelemahan regulasi dalam pelaksanaan kewenangannya.

Demikian antara lain benang merah yang dapat ditarik dari penjelasan narasumber dalam diskusi dan peluncuran buku ‘Memperkuat Komisi Yudisial dalam Menjaga Integritas Wakil Tuhan‘ di Komisi Yudisial, Rabu (2/9). Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus mengusulkan perubahan UU Komisi Yudisial sebagai salah satu cara memperkuat Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang pengakuannya diatur dalam konstitusi, sehingga mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Kewenangannya diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 dan UU No. 18 Tahun 2011 (mengubah UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial). Namun kewenangan-kewenangan Komisi Yudisial cenderung tidak sekali selesai karena masih membutuhkan tindakan lanjutan dari lembaga lain.

Misalnya, dalam seleksi calon hakim agung. Komisi Yudisial bertugas dan berwenang mengusulkan calon hakim agung. Namun pada akhirnya usulan Komisi Yudisial masih dapat ditolak oleh DPR. Prakteknya, DPR pernah tidak menyetujui nama-nama yang diusulkan dari hasil seleksi Komisi Yudisial meskipun dalam proses seleksi itu telah diikutsertakan sejumlah tokoh masyarakat terkemuka.

(Baca juga: Anggota KY Luncurkan Buku ‘Memperkuat KY dalam Menjaga Integritas Wakil Tuhan).

Bahkan UU No. 18 Tahun 2011 telah memberikan ‘amunisi’ lain kepada Komisi Yudisial yakni meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan. Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh hakim.

Namun, ‘amunisi’ tersebut nyaris sulit dijalankan. Hingga kini masih ada perbedaan pandangan antara Komisi Yudisial dengan aparat penegak hukum. Pertama, penyadapan dapat dilakukan dalam hal dugaan terjadinya tindak pidana, sedangkan kewenangan Komisi Yudisial masuk ranah dugaan pelanggaran kode etik. Kedua, target penyadapan pada dasarnya adalah hakim, tetapi penyadapan oleh kepolisian dan kejaksaan harus mendapatkan izin dari pengadilan. Walhasil, tugas yang diberikan UU No. 18 Tahun 2011 itu laksana macan di atas kertas. Tenaga Ahli Komisi Yudisial, A.J. Day, menyebut peraturan-peraturan yang tak punya gigi itu sebagai lex imperfecta.

Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun, juga melihat lemahnya posisi Komisi Yudisial karena tidak dianggap sebagai organ negara yang utama. Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 justru menempatkan Komisi Yudisial sebagai supporting organ. Pandangan ini tak lepas dari kewenangan dan hasil pelaksanaan tugas-tugas Komisi Yudisial masih bergantung pada keputusan lembaga lembaga lain. Dalam seleksi calon hakim agung bergantung pada persetujuan DPR, dan penyadapan bergantung pada aparat penegak hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait