Konsekuensi Logis Jika Presiden Tak Keluarkan Perppu KPK
Utama

Konsekuensi Logis Jika Presiden Tak Keluarkan Perppu KPK

Terbitnya Perppu KPK merupakan opsi terakhir dari kemungkinan pilihan yang ada seperti judicial review dan legislative review.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Joko Widodo agar segera mengambil keputusan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perppu KPK). Kalau tidak, ada 10 konsukuensi yang timbul jika Presiden tidak segera mengeluarkan Perppu KPK.   

 

ICW menganggap seolah Presiden tidak mendengarkan suara penolakan revisi UU KPK yang sangat masif didengungkan oleh berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia. "Ada beberapa konsekuensi logis jika kebijakan keluarnya Perppu ini tidak segera diakomodir Presiden," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (8/10/2019). Baca Juga: Arsul Sani: Perppu KPK Opsi Terakhir

 

Pertama, penindakan kasus korupsi akan melambat akibat pengesahan UU KPK yang baru. Nantinya, kata Ramadhana, berbagai tindakan pro justisia akan dihambat karena harus melalui persetujuan Dewan Pengawas. Mulai dari penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan. 

 

Kedua, KPK tidak lagi menjadi lembaga negara independen. Berdasarkan Pasal 3 Perubahan UU KPK disebutkan KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Ini artinya status kelembagaan KPK tidak lagi bersifat independen.

 

“Sedari awal pembentukan KPK diharapkan menjadi bagian dari rumpun kekuasaan ‘keempat’ yakni lembaga negara independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun baik secara kelembagaan ataupun penegakan hukum,” kata Ramadhana.   

 

Ketiga, menambah daftar panjang pelemahan KPK. Sepanjang lima tahun kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla berbagai pelemahan KPK telah terjadi. Mulai penyerangan Novel Baswedan, pemilihan Pimpinan KPK yang sarat persoalan, pembahasan dan pengesahan UU KPK yang begitu cepat. Tentu ini berimplikasi pada pandangan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan selama ini. “Bukan tidak mungkin anggapan tidak pro pemberantasan korupsi akan disematkan pada pasangan Jokowi–Jusuf Kalla.” 

 

Keempat, Presiden dinilai ingkar janji dalam “NawaCita” saat kampanye Pemilu 2014 yang berisi sembilan agenda prioritas jika terpilih menjadi Presiden. Pada poin ke-4, Jokowi-JK menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. “Publik dengan mudah menganggap NawaCita ini hanya ilusi belaka jika Presiden tidak segera bertindak untuk menyelamatkan KPK.”  

Tags:

Berita Terkait