Akademisi Ibaratkan Pembahasan RUU Laksana Bicara di Ruang Kedap Suara
Berita

Akademisi Ibaratkan Pembahasan RUU Laksana Bicara di Ruang Kedap Suara

Kehidupan manusia sangat dinamis sehingga hukum juga harus mengikuti dinamika itu. Perubahan KUHP sebuah keniscayaan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Narasumber dalam diskusi publik Dialektika Akademis Pengesahan  RUU KUHP di FH Universitas Pancasila, Rabu (9/10). Foto: MYS)
Narasumber dalam diskusi publik Dialektika Akademis Pengesahan RUU KUHP di FH Universitas Pancasila, Rabu (9/10). Foto: MYS)

Massifnya protes warga masyarakat terhadap sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) bermasalah merupakan bukti para pembentuk Undang-Undang kurang memperhatikan dan memberi ruang partisipasi. Revisi UU KPK dan RUU KUHP misalnya, dikritik oleh sejumlah elemen masyarakat karena substansinya dianggap bermasalah. Pembahasan tanpa melibatkan publik secara massif itu dibaratkan Rocky Marbun seperti bicara di ruang kedap suara.

“Membuat Undang-Undang seolah dalam ruang kedap suara,” ujar dosen di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta ini dalam diskusi publik ‘Dialektika Akademis Pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHP’ di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, Rabu (9/10).

Rocky Marbun menunjuk kritik penyusun RUU KUHP kepada mahasiswa yang belum membaca rancangan itu ketika berdemo dan menolak pengesahannya. Padahal, faktanya, mahasiswa dan elemen masyarakat, termasuk akademisi, tak bisa mendapatkan rancangan itu dengan mudah. Laman resmi DPR, laman Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, tak menyediakan Rancangan terbaru hasil pembahasan. Walhasil, sebagian besar materi muatan terbaru yang dibahas para penyusun tak sampai ke publik.

(Baca juga: Pasal-Pasal RUU KUHP yang Potensial Ganggu Kemerdekaan Pers).

Dosen-dosen hukum pidana tak dapat mengajarkan kepada mahasiswa apa yang berkembang dalam pembahasan karena draf yang tersedia di ruang publik adalah draft lama yang sudah banyak berubah. Menurut Rocky, mahasiswa yang tak bisa mengetahui isi RUU KUHP tak bisa disalahkan hanya karena mereka belum membaca isinya. “Keluarkan dulu rancangan dan hasil pembahasannya, baru suruh baca,” kritiknya kepada penyusun RUU KUHP.

Pasal 5 dan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyinggung pentingnya asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan itu dilakukan melalui beragam forum seperti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, atau seminar, lokakarya, dan diskusi.

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Jakarta, Faisal Santiago, tak menampik kemungkinan perbedaan pandangan antara yang menyusun dan membaca RUU. Apa yang dimaksudkan penyusun belum tentu sama dengan apa yang dipahami khalayak. Meme tentang ayam masuk pekarangan tetangga dan pemerkosaan oleh suami, misalnya. Banyak yang mengkritik pengaturan masalah ini dalam RUU KUHP, padahal normanya diambil dari kasus riil yang terjadi di masyarakat Indonesia. “Ada yurisprudensinya,” tandas Faisal.

(Baca juga: Akses Informasi atas Pembahasan RUU Perlu Dipertegas).

Ia memberi contoh pasal mengenai larangan membiarkan hewan ternak memasuki lahan dan merusak benih orang lain. Pasal ini sangat berguna bagi petani yang hidupnya bergantung pada ketersediaan benih. Hewan yang dibiarkan pemiliknya berkeliaran dapat menyebabkan keributan di masyarakat. Pasal mengenai hewan piaran ini termasuk yang banyak dikritik di media sosial, selain pasal-pasal kesusilaan.

Cuma, itu tadi, pemahaman warga terhadap apa yang dimaksudkan belum tentu sama dengan pikiran para penyusun. Padahal, tegas Guru Besar Ilmu Hukum ini, RUU KUHP sudah disusun lama, dan telah melibatkan banyak pemangku kepentingan. “RUU KUHP tidak ujug-ujug mau disahkan. Sudah lama dirancang,” ujarnya.

KUHP yang dipakai di Indonesia adalah warisan zaman Belanda, Wetboek van Strafrecht (WvS). Hukum pidana ini mengatur manusia yang dinamis. Manusia harus diatur oleh hukum, sehingga hukum yang sudah lama berlaku seperti KUHP, perlu diperbarui untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Dukungan atas revisi KUHP juga datang dari Hasbullah. Pengajar hukum pidana Universitas Pancasila ini berpendapat sumber hukum yang sudah usang akan sulit diterapkan di masyarakat. Apalagi jika rumusan-rumusannya sudah tak bisa menjangkau hubungan hukum dan peristiwa hukum yang berbasis teknologi. Jangan sampai perbuatan melanggar hukum dibiarkan tanpa ada norma hukum yang mengaturnya karena berpotensi menimbulkan eigenrichting. Itu pula sebabnya, Hasbullan mendukung revisi KUHP. “KUHP harus diperbaiki,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait