MK Diminta Perketat Syarat Mantan Terpidana Nyalon Kepala Daerah
Berita

MK Diminta Perketat Syarat Mantan Terpidana Nyalon Kepala Daerah

Tidak dijatuhi hukuman pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan; bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Aturan syarat mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang berstatus terdakwa atau tidak sedang berstatus terpidana dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) kembali dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

 

Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menyebutkan, “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka  dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.” Namun, putusan ini sebelumnya pernah ditafsirkan secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat) lewat Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016. (Baca Juga: MK: Terpidana-Terdakwa Boleh Nyalon Kepala Daerah, Kecuali…)

 

Mereka meminta tafsir syarat tambahan terhadap mantan terpidana (korupsi) yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dalam petitum permohonannya, Mahkamah diminta menyatakan pasal itu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yangtelah mempunyai kekuatan hukum tetap; bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

 

Kuasa Hukum Pemohon, Donal Fariz menilai berlakunya pasal itu masih membolehkan orang yang berstatus mantan terpidana korupsi menjadi calon kepala daerah, hanya menyampaikan pengumuman kepada publik bahwa dirinya mantan terpidana korupsi.  “Pasal itu masih membuka kesempatan calon kepala daerah tanpa adanya (syarat) masa tunggu bagi yang bersangkutan, sehingga menghambat upaya pemberantasan korupsi,” ujar Donal dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Selasa (8/10/2019).

 

Donal menilai pasal itu menghalangi usaha Pemohon untuk mendorong pemberdayaan rakyat agar mampu berpartisipasi dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan dalam rangka mewujudkan sistem politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi yang bersih dari korupsi yang berlandaskan keadilan sosial dan gender. Meski hak politik dijamin UUD 1945, tetapi bukanlah hak yang tidak dapat dibatasi/dikurangi. “Konstitusi juga mengatur hak yang tidak dapat dikurangi dalam apapun karena bersifat absolut.”

 

Kuasa Hukum Pemohon lain, Fadli Ramadhanil menilai akibat ketiadaan aturan pembatasan jangka waktu tertentu bagi narapidana kasus korupsi untuk maju dalam pilkada mengakibatkan perhelatan pilkada boleh diikuti mantan terpidana kasus korupsi. “Akibatnya, kepala daerah yang berstatus sebagai mantan terpidana kasus korupsi memiliki peluang yang besar mengulangi kembali perbuatannya,” jelasnya.

 

Donal mencontohkan kasus Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang menjadi tersangka kasus dugaan jual-bel jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus, setelah sebelumnya juga menjadi terpidana dalam kasus korupsi anggaran di Kabupaten yang sama. Tanpa adanya waktu tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun untuk bisa kembali menjadi calon kepala daerah serta syarat bukan pelaku kejahatan berulang telah merusak sendi demokrasi yang telah pula diuraikan Mahkamah melalui putusan sebelumnya.

Tags:

Berita Terkait