OTT Kepala Daerah, Antara Kritik dan Apresiasi
Berita

OTT Kepala Daerah, Antara Kritik dan Apresiasi

Kalau sudah melihat tanda-tanda kejahatan, masa penegak hukum berdiam diri.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
KPK menunjukkan barang bukti yanag diperoleh dari OTT. Foto: RES
KPK menunjukkan barang bukti yanag diperoleh dari OTT. Foto: RES

Siapakah kepala daerah berikutnya yang akan terkena Operasi Tangkap Tangan? Tidak ada yang bisa menduga dan menjawabnya. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sudah berkali-kali mengingatkan agar kepala daerah menjauhi praktek lancung korupsi, terutama menerima suap. Peringatan Mendagri laksana angin lalu. Tahun ini, sejumlah kepala daerah kembali terkena OTT Komisi Pemberantasan Korupsi.

Terbaru, KPK menangkap Agung Ilmu Mangkunegara, pada Ahad, (6/10). Bupati Lampung Utara (2014-2019) itu sudah ditetapkan sebagai tersangka bersama anak buahnya dan pengusaha karena diduga menerima suap. Dari penangkapan itu, penyidik menyita uang ratusan juta rupiah.

Agung Ilmu Mangkunegara adalah kepala daerah ketujuh yang terkena OTT KPK pada 2019. Sebelumnya, KPK telah menangkap Bupati Bengkayang Suryadman Gidot, Bupati Muaraenim Ahmad Yani, Bupati Kudus Tamzil, Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun, Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Manalip, dan Bupati Mesuji Khamami. Jumlah yang terkena OTT pada tahun sebelumnya lebih banyak.

(Baca juga: 2018 ‘Darurat’ Korupsi Kepala Daerah).

Hampir dalam setiap penangkapan muncul prokontra. Dalam penangkapan Agung Ilmu Mangkunegara, misalnya, sejumlah warga Lampung Utara justru mengadakan syukuran atas penangkapan itu. Warga memotong kambing di belakang kantor bupati. Ungkapan kegembiraan dengan cara berbeda dapat dilihat di sejumlah daerah seperti Cianjur. Apresiasi dan dukungan atas penangkapan atas kepala daerah yang menerima suap juga datang dari lembaga-lembaga advokasi antikorupsi.

Sebaliknya, langkah KPK melakukan OTT kepala daerah dikritik termasuk oleh pemerintah dan beberapa anggota Komisi III DPR. OTT KPK dianggap mengganggu investasi alias ketenangan berusaha. Saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 16 Agustus lalu, secara tak langsung Presiden Joko Widodo juga menyindir.

Penegakan hukum yang ditopang penegakan hak asasi manusia, kata Presiden, patut diapresiasi. Penegakan hukum dapat dinilai dari berapa potensi kerugian negara yang berhasil diselamatkan. "Tetapi keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan. Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan," tuturnya.

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, termasuk yang sering mempersoalkan OTT dengan hasil tangkapan ‘receh’. Jika KPK terus melakukan OTT untuk perkara-perkara receh, negara bisa nombok’. Bahkan ada calon pimpinan KPK menyebut OTT seperti sebuah ‘parade’.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait