Perppu yang Menyelamatkan
Kolom

Perppu yang Menyelamatkan

​​​​​​​Jika Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Perppu KPK, maka sebetulnya di samping menjadi penyelamat juga merealisasikan janjinya terhadap penguatan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.

Bacaan 2 Menit
Korneles Materay. Foto: Istimewa
Korneles Materay. Foto: Istimewa

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) seyogianya bukan lagi opsi terakhir bagi Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan bangsa ini dari rongrongan oligarkhi.

 

Publik masih terus berkabung atas pembunuhan KPK, tetapi di tangan Presiden duka cita bisa menjadi suka cita atau kematian bisa menjadi kebangkitan/kehidupan baru. Melalui Perppu-lah keselamatan KPK dan penegakan hukum korupsi bangsa ini sangat mungkin terjadi.

 

State of Exception

Kewenangan Presiden menetapkan Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Dalam perspektif hukum konstitusi, Perppu merupakan kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif (president’s legislative power).

 

Perppu praksis dianggap sebagai suatu produk hukum yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal (state of exception) yaitu suatu keadaan di mana negara dihadapkan pada ancaman hidup atau mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan (Scheppele, 2004: 1004).  

 

Hingga kini, Perppu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila syarat kegentingan memaksa telah terpenuhi (pandangan subyektif) dengan wajib memperhatikan 3 (tiga) kriteria obyektif sebagaimana tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, yaitu: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan (3) Kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

 

Syarat Terpenuhi

Menurut saya, syarat Presiden menerbitkan Perppu KPK telah terpenuhi dengan beberapa alasan. Pertama, dilihat dari konteks politik dimulainya revisi UU KPK, yakni konteks bagaimana sikap seluruh anggota DPR dan/atau fraksi partai politik di Senayan bersepakat terhadap perubahan UU KPK. Sebenarnya, mendukung atau menolak revisi UU KPK oleh siapapun tidak masalah. Yang bermasalah adalah revisi itu semacam proyek kolektif seluruh anggota DPR dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita.

 

Usulan revisi UU KPK tersebut kemudian dikebut pembahasannya sehingga hanya dalam kurun waktu 12 hari saja sudah disahkan. Hal ini terkesan seperti kinerja DPR melampaui kebiasaannya yang sering lamban dan agak kemalas-malasan merespon kebutuhan masyarakat. Benar saja! Walaupun telah rajin bekerja, DPR tidak pandai membaca mana yang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat. Tetapi memang karena ini adalah hajatan komunal DPR untuk memproteksi dirinya atau kroni-kroninya di masa depan dari jeratan pasal-pasal anti-rasuah.

Tags:

Berita Terkait