Gagasan Berani Kabinet Pak Boer
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

Gagasan Berani Kabinet Pak Boer

Sebelum KPK hadir, Indonesia sudah memiliki kebijakan dan sejumlah lembaga antikorupsi. Bubar karena beragam sebab.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Berusia tidak sampai setahun, persisnya antara 12 Agustus 1955 sampai 3 Maret 1956, kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Boerhanuddin Harahap dikenang dalam catatan sejarah Indonesia. Setidaknya, ada dua kenangan yang sangat penting. Pertama, pelaksanaan pemilihan umum pertama sejak Indonesia merdeka. Kedua, pada masa kepemimpinan Pak Boer –demikian biasa disapa—pula untuk pertama kalinya digagas sebuah Rancangan Undang-Undang Darurat mengenai pemberantasan korupsi. Menteri Kehakiman kala itu adalah Mr Loekman Wiriadinata.

 

Dalam biografinya yang ditulis Badruzzaman Busyairi (1989), Boerhanuddin menceritakan bahwa RUU Antikorupsi itu dimaksudkan untuk mengatasi korupsi. Isi RUU Antikorupsi itu memuat suatu exorbitant-recht (hukum yang semangatnya sangat ideal, red) yang mewajibkan kepada pegawai negeri atau orang lain untuk memberikan bukti-bukti yang menerangkan asal-usul harta benda (kekayaan) yang dimilikinya, yang biasa diistilahkan dengan de bewijslast-omkeren.

 

Oh ya, koran Indonesia Raya – dikomandoi Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar—banyak memberitakan isu korupsi pada periode 1951-1956, sebelum Koran ini akhirnya dibreidel. Pedoman edisi 20 Agustus 1955 menulis bahwa Kabinet Boerhanuddin menyadari peraturan perundang-undangan yang ada tak memadai lagi untuk menindak para pejabat korup, padahal jumlah pejabat tinggi dengan aset mencurigakan meningkat.

 

RUU Antikorupsi yang disusun Kabinet Burhanuddin terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, mengatur berbagai tindakan di dalam peradilan yang ketentuannya berlainan dengan peradilan biasa, yaitu mengadakan pengadilan sendiri –seperti halnya untuk tindak pidana ekonomi—dan terdakwa harus dapat menjawab dengan sejujurnya atas tuduhan kepadanya. Pembuktian kesalahan terdakwa tetap dilakukan menurut aturan pembuktian biasa.

 

Bagian kedua RUU mengatur berbagai tindakan di luar pengadilan. Di sini dimungkinkan melakukan penyelidikan harta benda seseorang oleh Biro Penilik Harta Benda, meskipun tidak otomatis diadakan tuduhan kepada dirinya. Penyelidikan hanya dimaksudkan untuk memeriksa besarnya harta benda dan keabsahan asal usul harta itu. Ini dilakukan untuk mencegah penangkapan sembarangan.

 

Langkah Pak Boer bukan tanpa hadangan. Beberapa hari setelah Pak Boer dan kabinetnya dilantik, terjadi penangkapan Angkatan Darat terhadap Menteri Kehakiman, Mr Djodi Gondokusumo. Jaksa Agung yang sangat disegani kala itu, Soeprapto, mendakwa Djodi menerima suap 40 ribu rupiah untuk memberikan visa bagi seorang warga negara asing. Djodi dihukum pada Januari 1956 tetapi kemudian mendapat pengampunan dari Presiden Soekarno.

 

Meskipun Mr Djodi ditangkap pihak Angkatan Darat, Pak Boer dituding berada di balik penangkapan itu karena balas dendam. Dalam pidato di depan parlemen, Boerhanuddin membantah tudingan itu. Tetapi ia menegaskan ‘tindakannya untuk mengatasi korupsi tidak memandang bulu. Pemerintah tetap berlaku objektif dan penuh hati-hati, tidak asal tangkap’.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait