Akhirnya Terbit Juga! Perpres Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia
Kolom

Akhirnya Terbit Juga! Perpres Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia

​​​​​​​Meski diapresiasi, Perpres ini masih menyisakan beberapa catatan dan pertanyaan.

Bacaan 2 Menit
Priskila P. Penasthika. Foto: Istimewa
Priskila P. Penasthika. Foto: Istimewa

Pertengahan tahun 2009 dunia praktik hukum di Indonesia gempar karena terbitnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009). Sebab, Pasal 31 (1) undang-undang tersebut mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

 

Terkait dengan perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing, ayat 2 dari Pasal 31 mengatur bahwa perjanjian tersebut ditulis juga dalam bahasa nasional dari pihak asing yang menjadi pihak dalam perjanjian, dan/atau dalam bahasa Inggris. Sayangnya, tanpa memberikan kejelasan versi mana yang dianggap berlaku dan mengikat apabila perjanjian dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing.

 

Selain itu, undang-undang ini juga diam sehubungan dengan sanksi atau akibat hukum dari tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian, namun mengamanatkan diterbitkannya Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan penggunaan bahasa Indonesia.

 

Menanggapi permintaan penjelasan dari sejumlah pengacara yang resah atas ketentuan Pasal 31 UU 24/2009 ini, di penghujung tahun 2009 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham) menerbitkan surat nomor M.HH.UM.01.01-35 Tahun 2009 yang mengklarifikasi kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian yang bersifat privat komersial.

 

Singkatnya, dalam suratnya tersebut Menkumham menerangkan tiga perihal. Pertama, pelaksanaan ketentuan Pasal 31 UU 24/2009 menunggu sampai diterbitkannya Peraturan Presiden sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Kedua, peraturan perundang-undangan berlaku secara non-retroaktif. Ini artinya,perjanjian privat komersial yang telah ada sebelum terbitnya UU 24/2009 dan disusun hanya dalam bahasa Inggris adalah tetap sah, tidak batal demi hukum ataupun dapat dibatalkan. Ketiga, merujuk asas kebebasan berkontrak, sampai dengan diterbitkannya peraturan presiden sebagaimana diamanatkan UU 24/2009, pada dasarnya para pihak dalam perjanjian bebas pula untuk menentukan bahasa yang digunakan dalam perjanjian yang mereka sepakati.

 

Setelah diterbitkannya Surat Menkumham ini, praktik penyusunan perjanjian privat komersial yang melibatkan pihak asing dan pihak Indonesia dilakukan dengan menggunakan dwi bahasa, dalam bahasa Indonesia dan, umumnya, bahasa Inggris. Praktik ini dilakukan sembari menunggu diterbitkannya Peraturan Presiden sebagai aturan pelaksana dari kewajiban ini.

 

Putusan Mahkamah Agung yang Menggegerkan

Enam tahun setelah terbitnya UU 24/2009, persoalan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian kembali mengemuka karena Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1572/K/Pdt/2015 dalam perkara antara Nine AM Ltd melawan PT Bangun Karya Pratama Lestari (Putusan Nine AM).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait