Privatisasi Aset Negara, Notaris Perlu Waspada Agar Tak Jadi Subjek Tipikor
Utama

Privatisasi Aset Negara, Notaris Perlu Waspada Agar Tak Jadi Subjek Tipikor

Bila semua aturan dan ketentuan yang ada diimplementasikan dalam setiap perjanjian yang dibuat maka notaris dalam posisi aman.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam Dalam diskusi bertajuk ‘Mitigasi Risiko Privatisasi Aset Negara dalam Perspektif Hukum Pidana’ yang diselenggarakan PP INI, Senin (14/10). Foto: RES
Para pembicara dalam Dalam diskusi bertajuk ‘Mitigasi Risiko Privatisasi Aset Negara dalam Perspektif Hukum Pidana’ yang diselenggarakan PP INI, Senin (14/10). Foto: RES

Bicara soal realisasi rencana pemindahan ibukota negara, tentu tak terlepas dari aspek pembangunan infrastruktur, pembebasan lahan, pengadaan tanah, barang dan jasa, kerjasama pemerintah dan swasta hingga privatisasi (swastanisasi) aset negara. Keterlibatan Notaris sebagai pejabat umum pembuat akta otentik atas beragam transaksi bisnis mutlak diperlukan.

 

Ironisnya, sekalipun notaris membuat akta dengan iktikad baik (sekadar menjalankan tugas profesi, -red), tuduhan terlibat dalam pemufakatan jahat yang bisa merugikan keuangan negara hingga dikriminalisasi atas tindakannya dalam menjalankan tugas profesi notaris pada praktiknya masih dijumpai. Padahal, risiko kerugian dalam bisnis ‘tak melulu’ disebabkan karena pelanggaran pidana.

 

Sebagai profesi yang sama-sama merupakan officium nobile dengan profesi advokat, adakah hak imunitas yang melindungi notaris dalam menjalankan tugas jabatannya? Bila suatu transaksi yang ditangani notaris terlibat langsung dengan keuangan negara dan mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara, akankah notaris sebagai ‘pejabat umum’ turut dipersalahkan sebagai tersangka korupsi?

 

Dalam diskusi bertajuk ‘Mitigasi Risiko Privatisasi Aset Negara dalam Perspektif Hukum Pidana’ yang diselenggarakan PP INI, Senin (14/10), Notaris Pieter Latumeten mengingatkan bahwa notaris harus berhati-hati dalam menangani transaksi bila tak ingin terlibat masalah. Kode etik jabatan, UU terkait keuangan dan perbendaharaan negara serta ketentuan persetujuan DPR atau Pemerintah atas pengalihan suatu aset tertentu harus betul-betul dipahami dan diperhatikan.

 

“Jika semua aturan dan ketentuan itu kita implementasikan dalam setiap perjanjian yang kita buat maka kita aman,” ujarnya.

 

Ia mencontohkan, untuk aset dengan nilai di atas Rp100 milyar misalnya, pengelolaan barang hanya boleh dialihkan dengan persetujuan DPR, atau jika di atas Rp10 milyar harus dengan persetujuan presiden atau untuk pengalihan aset di bawah Rp10 milyar harus dengan persetujuan menteri keuangan. (Vide; Pasal 46 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Persetujuan itu harus betul-betul diperoleh notaris sebelum mengalihkan aset.

 

Pasalnya, karakter unik ketentuan hukum publik yang berkaitan dengan aset negara baik dalam bentuk uang tunai atau barang sangat mempengaruhi proses pengalihan asset. Sehingga, ada sifat melawan hukum bila unsur ini tak terpenuhi.

Tags:

Berita Terkait