​​​​​​​Tim Gabungan yang Akhirnya Dibubarkan
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

​​​​​​​Tim Gabungan yang Akhirnya Dibubarkan

Menggantikan Soeharto, Presiden Habibie berhasil memperbaiki regulasi pemberantasan korupsi. Adapun Presiden Soeharto, tak pernah duduk di kursi pesakitan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

BJ Habibie telah menghembuskan nafas terakhir pada 11 September lalu. Upacara pemakaman Presiden ketiga Republik Indonesia itu disaksikan ribuan warga yang memadati area pinggir jalan sepanjang jalur dari rumahnya menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata. Meskipun hanya memimpin Indonesia dalam hitungan bulan, Habibie dikenang karena banyak hal. Salah satunya, pada era kepemimpinannyalah lahir sejumlah Undang-Undang yang reformis, salah satunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Mewarisi situasi politik yang labil pasca mundurnya Soeharto, Presiden Habibie dituntut untuk melakukan banyak hal dalam waktu yang singkat. Dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi, misalnya. Ada Ketetapan XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebagai mandataris MPR, Habibie tak mungkin mengabaikan Ketetapan itu.

 

Pembentukan lembaga pemberantasan korupsi eksplisit disebut dalam TAP ini. Tetapi lembaga dimaksud hanya lembaga yang bertugas melakukan pemeriksaan atas kekayaan penyelenggara negara. Lembaga ini dibentuk kepala negara, beranggotakan pemerintah dan masyarakat. Ditegaskan pula pentingnya langkah tegas dan konsisten menjalankan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Salah satu yang membuat posisi dilematis adalah amanat Pasal 4 TAP No. XI/MPR/1998. Isinya begini: ‘Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia’. TAP MPR ini diteken Ketua MPR Harmoko, pejabat negara yang sangat dekat dengan Soeharto, dan wakil-wakilnya Hari Sabarno, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, Fatimah Ahmad, dan Pudjono Pranyoto.

 

Mengadili Soeharto bukan perkara mudah. Habibie pernah menjadi wakilnya di pemerintahan, dan tidak sedikit pejabat yang loyal. Toh, Kejaksaan Agung tetap maju melakukan pemeriksaan terhadap Soeharto pada 9 Desember 1998, tak sampai satu bulan setelah terbitnya TAP No. XI/MPR/1998. Tak sampai setahun kemudian, tepatnya 8 Oktober 1999, Plt Jaksa Jaksa Agung Ismudjoko menerbitkan SP3. Situasi politik saat itu belum benar-benar stabil. Pada 14 Oktober 1999, MPR menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie.

 

Lalu, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terpilih sebagai presiden. Gus Dur membuka kembali pemeriksaan dugaan korupsi Soeharto, tetapi tak pernah benar-benar hadir di kursi terdakwa karena alasan kesehatan. Kursi yang pesakitan yang telah disiapkan di aula Kementerian Pertanian kosong tanpa tanpa terdakwa. OC Kaligis, salah seorang pengacara Soeharto, telah membukukan perjalanan kasus kliennya dalam Perjalanan Peradilan Soeharto (2003).

 

Baca:

 

KPKPN

Presiden Habibie juga mewariskan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang ini mengamanatkan pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, lazim disebut Komisi Pemeriksa. Komisi Pemeriksa ini adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait