Minim Partisipasi Publik Penyebab Produk UU Berujung ke MK
Berita

Minim Partisipasi Publik Penyebab Produk UU Berujung ke MK

Selama DPR periode 2014-2019, IPC mencatat 14 UU diuji materi ke MK dengan 116 permohonan. DPR selama ini dinilai tertutup dalam proses pembahasan RUU, sehingga minim menyerap aspirasi masukan dari masyarakat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi bertajuk 'Tinjauan dan Tantangan Fungsi Legislasi DPR' di Jakarta, Kamis (17/10). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam diskusi bertajuk 'Tinjauan dan Tantangan Fungsi Legislasi DPR' di Jakarta, Kamis (17/10). Foto: RFQ

Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR periode 2014-2019 telah berakhir sejak 30 September 2019 lalu. Secara kuantitas kinerja legislasi DPR periode 2014-2019 mengalami penurunan cukup signifikan dibanding periode sebelumnya. Selain kuantitas, kualitas (materi muatan) produk legislasi pun kerap berujung “gugatan” ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran dinilai bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945).

 

Hal ini disebabkan minimnya DPR-pemerintah menyerap aspirasi atau masukan publik dalam proses penyusunan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU). Padahal, idealnya proses pembahasan RUU dilakukan secara terbuka untuk menyerap aspirasi publik agar sesuai kebutuhan masyarakat.

 

Pandangan itu disampaikan Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC) Muhammad Ichsan dalam sebuah diskusi bertajuk “Tinjauan dan Tantangan Fungsi Legislasi DPR” di Jakarta, Kamis (17/10/2019). “Banyaknya UU yang disahkan, lalu di-judicial review di MK menunjukan DPR kurang mengakomodir aspirasi masyarakat sebagai stakeholder. DPR seolah tutup kuping enggan mendengar masukan masyarakat,” ujar Muhammad Ichsan. Baca Juga: Penyebab Menurunnya Produk Legislasi DPR

 

Berdasakan catatan IPC, kata Ichsan, ada 78 UU yang dihasilkan DPR periode 2014-2019 diantaranya 14 UU dimohonkan uji materi ke MK oleh sejumlah warga masyarakat dengan total sebanyak 116 permohonan.

 

Berikut 14 UU yang kerap dimohonkan pengujian UU di MK.

  1. UU No.2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) sebanyak 10 permohonan.
  2. UU Perubahan atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.1 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU dengan 2 permohonan.  
  3. UU No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dengan dua permohonan.
  4. UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan 45 permohonan.
  5. Penetapan Perppu No.1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU dengan 1 permohonan.
  6. UU No.15 Tahun 2017 tentang APBN Tahun Anggaran 2018 dengan 1 permohonan.
  7. Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas dengan 4 permohonan.
  8. UU No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dengan 1 permohonan.
  9. UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) dengan 20 permohonan.
  10. UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dengan 4 permohonan.
  11. UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik dengan 2 permohonan.
  12. Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pilkada dengan 2 permohonan.
  13. UU No.3 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No.27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015 dengan 3 permohonan.
  14. UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pilkada dengan 19 permohonan.

 

Menurut Ichsan, dari 116 permohonan uji materi itu, tercatat 11 permohonan dikabulkan  sebagian dan 1 permohonan dikabulkan seluruhnya. Dengan banyaknya permohonan uji materi atas produk UU yang dihasilkan menunjukan ketidakpuasan publik dalam proses pembahasan RUU di DPR. “Sekaligus menegaskan bahwa UU yang dihasilkan tidak efektif dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” dalihnya.

 

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana berpandangan kinerja DPR periode 2014-2019 tak lebih baik daripada periode sebelumnya. Menurutnya, Parlemen Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Malahan kinerja DPR sejak era reformasi pun dinilai mengecewakan. “Apalagi produk legislasinya rendah. Periode 2014-2019 hanya 78 UU, ini titik terendah,”  kata dia dalam kesempatan yang sama. 

Tags:

Berita Terkait