Mas Achmad Santosa Bicara tentang Peran Orang Hukum dalam Sustainable Ocean Economic
Utama

Mas Achmad Santosa Bicara tentang Peran Orang Hukum dalam Sustainable Ocean Economic

​​​​​​​Yang dibutuhkan adalah orang yang paham UNCLOS dan kejahatan terorganisasi.

Oleh:
Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Mas Achmad Santosa. Foto: RES
Mas Achmad Santosa. Foto: RES

Laut Indonesia merupakan salah satu laut dengan kandungan sumber daya air yang tinggi. Total nilai aset laut Indonesia sebesar AS$1.277 triliun atau senilai Rp18.513,6 triliun. Sementara nilai ekonomi maritim Indonesia menurut Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2013 berpotensi mencapai sebesar AS$171 miliar per tahun. Kandungan potensi sebesar ini tentu saja mempengaruhi minat banyak pihak untuk memperoleh hasil laut Indonesia, baik secara legal maupun sebaliknya.

 

Sebagai bagian dari kesadaran pembangunan yang berkelanjutan, potensi ekonomi laut Indonesia seperti itu harus bisa dijaga. Misalnya dengan tidak sesuka hati mengeksploitasi hasil laut. Dalam konteks itu juga perlu dilihat beberapa kebijakan di bidang kemaritiman, termasuk tindakan tegas kepada nelayan asing pencuri ikan di perairan Indonesia. Kapal-kapal mereka ditenggelamkan. Upaya itu dikembangkan melalui Satuan tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal, lazim dikenal Satgas 115.

 

Hukumonline, berkesempatan mewawancarai Mas Achmad Santosa, Koordinator Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan di kantornya beberapa waktu lalu. Ia juga menyinggung peran sarjana hukum, selain menjelaskan pengembangan ekonomi kelautan yang berkesinambungan. Berikut petikannya:

 

Bagaimana prinsipnya Sustainable Ocean Economic?

Dari aspek stand point, Sustainable Ocean Economic menggabungkan antara sustainable development dan ocean economic. Jadi, tidak bisa kalau orang-orang mengatakan bahwa laut kita punya nilai ekonomi tinggi, misalnya terumbu karang, bakau, padang lamun, dan ikan, dijual kepada investor untuk dilakukan eksploitasi. Sekarang tidak bisa. Bisa habis nanti. Cina (ikannya) udah habis. Sudah overexploited ikannya. Makanya dia kembangkan fleet to overseas, masuk ke daerah-daerah (perairan) kita. Kelihatan dari radar. Vietnam juga begitu. Thailand juga begitu. Berseliweran di perbatasan. Kelihatan sama global fishing watch. Kalau misalnya mereka masuk (ke perairan kita), keluar masuk lagi, amanlah. Tidak ada patroli. Stand point sustainable ocean economic, itu aja.

 

Peran orang hukum di sini apa pak?

Menarik. Menurut saya, illegal unreported unregulated fishing penting sekali orang hukum. Pertama, hukum harus memberikan kesan penjeraan. Karena kita sudah terbiasa 10 tahun belakangan ini. Itu menjadi satu kolam untuk penjarahan sumber daya ikan kita. Dibawa keluar. Kemudian transit di tengah laut. Kayak gitu dan tidak dilaporkan (report) langsung keluar. Makanya di Davao itu terkenal ekportir ikan tertinggi. Itu ikannya dari kita, dari Sulawesi.

 

Dulu waktu saya masuk tahun 2015 awal, ada 1.200 kapal besar yang terdaftar. Tapi sebetulnya kita temukan banyak yang gak terdaftar. Itu ada. kita kan gak tahu karena tidak teregistrasi. Jadi secara realita di lapangan taruhlah ambil angka konservatif, itu 7000-8000 kapal besar asing. Nama eks asing buatan asing karena sebetulnya BO-nya, person in control-nya di luar. Di sini sih boneka saja. Memang nama pemiliknya Indonesia tapi sekadar boneka.

 

Nah itu peranan hukum penting. Di-stop langsung. Sekarang izinnya dikeluarkan untuk pengusaha Indonesia. Tapi pengusaha Indonesia pun ada yang dimodali oleh orang asing. Makanya kita pakai due diligence sekarang setiap izin-izin baru. Itu tugasnya saya. Due diligence izin baru membantu Menteri dan Dirjen Perikanan Tangkap. Kalau perlu PPATK untuk melihat aliran. Sampai seperti itu. Kita tidak mau di dalam asing tapi ternayata ada investasi asing. Itulah yang kini terjadi.

Tags:

Berita Terkait