Data As New Oil dalam Konstruksi Hukum Ekonomi Digital di Indonesia
Kolom

Data As New Oil dalam Konstruksi Hukum Ekonomi Digital di Indonesia

“The world’s most valuable resource, data and the new rules of competition” The Economist, May 2017.

Bacaan 2 Menit
Danrivanto Budhijanto. Foto: Istimewa
Danrivanto Budhijanto. Foto: Istimewa

“Data is the new oil” menjadi laporan khusus majalah The Economist pada bulan Mei 2017 dengan judul “The world’s most valuable resource is no longer oil, but data”. Namun terminologi futurikal ini sebenarnya telah hadir lebih awal di tahun 2006 oleh Clive Humby, seorang matematikawan. Sehingga sangat tepat jika pada Pidato Kenegaraan di Gedung Parlemen pada tanggal 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia harus siap dalam menghadapi ancaman penyalahgunaan data.

 

Presiden Joko Widodo menyebut dengan artikulasi yang sangat bernas bahwa “Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak," karenanya menurut Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia harus mewujudkan kedaulatan data (data sovereignty). Setiap hak warga negara atas data pribadi harus terlindungi dan legislasinya harus disiapkan tidak boleh ada kompromi sebagaimana disampaikan dalam Pidato Kenegaraan dimaksud.

 

Data & Yuridiksi Virtual

Kita tidak menyadari bahwa kehidupan hari ini berada di dunia Big Data, di mana perusahaan menjadi kaya dengan mendapatkan keuntungan dari informasi pribadi dengan sedikit kendala dan hampir tidak ada pengawasan. Keadilan hukum dan keadilan sosial menjadi sangat jauh untuk menjangkau media sosial dalam platform digital dan Big Data.

 

Perusahaan menawarkan kepada kita aplikasi gratis yang nyaman, bermanfaat dan menyenangkan namun sebagai gantinya diambilnya hak perlindungan data pribadi saat terjadinya interaksi virtual (on-line dan terkadang off-line). Perusahaan-perusahan Big Data cenderung senyap bagi pengguna/publik dan regulator, sehingga hanya sedikit orang yang memahami risiko dan kemampuan perusahaan Big Data, yang sanggup menyembunyikan pelanggaran perlindungan data untuk waktu yang lama.

 

Pendekatan ortodoks untuk perlindungan data pribadi dalam pendekatan keadilan hukum dan keadilan sosial tidak lagi relevan dalam semesta virtual, dengan pemanfaatan Big Data dan algoritma aplikasi platform. Perlu pemahaman kontemporer dalam pendekatan keadilan virtual yaitu yurisdiksi virtual, di mana data pribadi yang dilindungi dalam interaksi layanan platform Big Data adalah sebagai berikut:

  1. volunteered data (data sukarela) yaitu data pribadi yang secara aktif dan detail diberikan oleh individu ketika mereka mendaftar untuk layanan platform;
  2. observed data (data yang diamati) yaitu data perilaku yang dihasilkan melalui pengamatan/observasi penggunaan layanan oleh individu pengguna layanan platform; dan
  3. inferred data (data yang disimpulkan) yaitu data yang tidak aktif atau pasif disediakan oleh individu pengguna layanan platform, tetapi diperoleh melalui analisis data yang dikumpulkan.

 

Legislasi dan regulasi perlindungan data eksisting di beberapa negara mengatur lebih banyak tentang volunteered data (data sukarela). Namun pada kenyataanya karena sebagian besar data yang dikumpulkan dan diperjual-belikan dilanjutkan prosesnya dengan pengamatan (observasi) atau penarikan kesimpulan, maka perlindungan kepada data sukarela tidak lagi memiliki makna keadilan hukum maupun keadilan sosial.

Tags:

Berita Terkait