Perundingan RCEP Alot, Pemerintah Perlu Hati-hati
Berita

Perundingan RCEP Alot, Pemerintah Perlu Hati-hati

Pemerintah harus menyiapkan kebijakan untuk mengantisipasi defisit neraca perdagangan dan jasa dalam jangka waktu panjang.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Perundingan RCEP Alot, Pemerintah Perlu Hati-hati
Hukumonline

Nyaris 7 tahun sudah proses perundingan Perjanjian Dagang Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau yang disebut dengan RCEP berlangsung. Perundingan RCEP ini terdiri dari 16 negara Asia-Pasifik. RCEP adalah kerangka perdagangan bebas multilateral seperti Kemitraan Trans-Pasifik (TPP/Trans-Pacific Partnership), namun cakupan RCEP lebih besar, meliputi China, Jepang, India, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan 10 negara anggota ASEAN.

 

Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), Imam Pambagyo, menyebutkan bahwa RCEP merupakan upaya untuk mengkonsolidasikan ASEAN + 1 FTA yang saat ini perundingan telah dilaksanakan selama 7 tahun. Rencananya jika semua hasil perundingan disepakati, RCEP akan segera diresmikan pada November 2020 mendatang.

 

Imam menjelaskan beberapa hal yang membuat proses pembahasan RCEP berjalan lambat. Pertama, ada pengalaman, isu, atau tingkat ambisidalam perundingan lain yang dibawa ke dalamkonteks RCEP (TPP/CP-TPP, CJK FTA, dan sebagainya). Kedua, perubahan pemerintahan/kementerian dinegara anggota cenderung memperlambatproses perundingan. Ketiga, karena tingkat sensitivitas yang berbeda, ASEAN tidak selalu datang dengan “posisi ASEAN” yang solid.

 

Keempat, “Trading -off” yang terbukti tidak mudah. Mengupayakan “balance” dalam satu Chapter dan antar Chapters merupakan tantangan tersendiri. Kelima, tidak semua ASEAN FTA Partners (AFPs) memiliki hubungan FTA dengan AFPs lainnya, Keenam, setiap negara memiliki sensitivitas berbeda dengan negara tertentu; bahkan sesama Negara CP-TPP memiliki sensitivitas yang berbeda dalam konteks RCEP, dan ketujuh, ASEAN+1 FTAs memiliki tingkat liberalisasi tarip yang berbeda.

 

Sejauh ini, dari 225 pairings atau perjanjian bilateral dari 16 negara yang mengikuti perundingan RCEP, terdapat 8 perjanjian bilateral yang masih membutuhkan perundingan yang lebih insentif.

 

“Delapan pairings masih membutuhkan perundingan yang lebih insentif, perundingan market access perlu didorong lagi dan itu terdapat di empat annex. Ini sebenarnya sudah hampir sudah selesai tinggal konfirmasi dari 2-3 negara,” kata Imam dalam konferensi pers di Kantor Kemendag, Senin (21/10).

 

(Baca: Ketentuan Investasi Perundingan RCEP Berikan Privilege Asing di Indonesia)

 

Sementara itu Pengamat Ekonomi Muhammad Faisal mengatakan bahwa perundingan RCEP memiliki cakupan yang lebih luas ketimbang perundingan internasional lainnya seperti FTA. RCEP bukan hanya sekedar membahas perdagangan barang, namun juga perdagangan jasa hingga e-commerce. Seluruh chapter di RCEP harus dibahas satu persatu karena terdapat perhitungan cost dan benefit yang tidak bisa dipukul rata antar negara anggota. Maka tak heran jika perundingan ini memakan waktu yang cukup lama.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait