Punya Legal Standing Tapi Posita Kabur? Permohonan Warga Bisa Berakhir Seperti Ini
Berita

Punya Legal Standing Tapi Posita Kabur? Permohonan Warga Bisa Berakhir Seperti Ini

Majelis merasa tidak perlu meminta keterangan dari pihak-pihak terkait atau risalah rapat berkenaan permohonan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
MK memutuskan menyatakan permohonan pengujian UU KIP tidak dapat diterima. Foto: RES
MK memutuskan menyatakan permohonan pengujian UU KIP tidak dapat diterima. Foto: RES

Salah satu syarat formal yang harus dipenuhi seorang warga negara untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan adalah memiliki legal standing. Tetapi memiliki legal standing saja ternyata tidak cukup. Meskipun seseorang punya kepentingan dan alas hak untuk mengajukan permohonan atau gugatan, bukan berarti gugatan itu dikabulkan hakim. Bisa jadi, gugatan itu ditolak atau tidak dapat diterima.

Hal yang sama terjadi dalam permohonan pengujian UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Hanya dalam waktu sekitar tiga bulan sejak permohonan diregister, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan permohonan judicial review UU KIP yang diajukan Supriyono, seorang warga Tangerang, Banten.

Majelis berkesimpulan bahwa Supriyono memiliki legal standing karena identitasnya jelas dan punya kepentingan hukum atas substansi UU yang dimohonkan uji. Terbukti bahwa pemohon sudah beberapa kali mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat. “Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” simpul majelis dalam putusan yang dibacakan pada 23 Oktober lalu.

Meskipun mengakui kedudukan hukum pemohon, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Penyebabnya, ‘permohonan pemohon kabur’ sehingga ‘tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut”. Pandangan majelis mengenai kekaburan permohonan ini dapat dibaca dalam pertimbangan.

(Baca juga: Akses Informasi atas Pembahasan RUU Perlu Dipertegas).

Menurut majelis, permohonan pemohon tetap tidak sesuai dengan sistematika yang diatur dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Meskipun majelis sudah memberikan nasihat kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan, termasuk meminta pemohon melihat laman Mahkamah Konstitusi untuk melihat contoh permohonan, tetapi tetap tidak disesuaikan dengan format permohonan. Lagipula, majelis berpandangan bahwa pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan norma UU KIP yang dimohonkan uji dengan UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.

Pemohon tidak menjelaskan posita untuk membuktikan inkonstitusionalitas norma-norma yang dimohonkan uji. Dengan kata lain, pemohon tidak menjelaskan secara rinci mengenai pertentangan norma yang dimohonkan uji dengan Pasal 24D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. “Tidak ada bagian posita (alasan-alasan permohonan) yang merupakan bagian penting dari permohonan,” urai majelis.

Pemohon mempersoalkan kata ‘setelah’ dalam Pasal 38 ayat (1) dan kata ‘dapat’ dalam Pasal 38 ayat (2) UU KIP. Selengkapnya pasal 38 yang diuji adalah: (1) Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota harus mengupayakan  penyelesaian sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi non;itigasi paling lambat 14 hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik; (2) proses penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 hari kerja. Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir atas kedua lema tadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait