Peringkat EoDB Stagnan, Deregulasi Investasi Masih Tumpul
Berita

Peringkat EoDB Stagnan, Deregulasi Investasi Masih Tumpul

Indonesia masih harus terus mendorong kemudahan berusaha. Terutama pada starting business.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kemudahan berusaha. Ilustrator: BAS
Ilustrasi kemudahan berusaha. Ilustrator: BAS

Laporan Bank Dunia atau World Bank mengenai indeks kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) 2020 menyatakan peringkat Indonesia masih stagnan dibandingkan tahun sebelumnya di posisi 73 dari 190 negara. Laporan ini menjadi kabar pahit bagi pemerintahan Joko Widodo yang mengusung investasi sebagai capaian utama. Pada saat memperkenalkan anggota kabinetnya, Presiden Jokowi kembali menyinggung pentingnya membuka keran investasi.

Sebenarnya, sejak mengawali pemerintahan lima tahun lalu, Joko Widodo sudah melakukan berbagai upaya untuk mendorong deregulasi. Berbagai paket kebijakan deregulasi investasi dan insentif perpajakan dalam 16 paket kebijakan sudah dijalankan. Reformasi regulasi juga dilaksanakan. One single submission (OSS) juga diperkenalkan untuk memotong mata rantai perizinan. Tetapi, posisi Indonesia belum beranjak dari posisi yang sama. Adakah yang salah dalam implementasi kebijakan deregulasi tersebut?

Direktur Eksekutif Indonesia Development Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati berpendapat terjadi ketidaksesuaian antara reformasi regulasi dengan implementasi perizinan usaha secara riil. Kebijakan di atas memang memudahkan berinvestasi, tetapi realitas di lapangan, terutama di daerah, kenyataannya bisa lain. Walhasil, investor masih merasa kesulitan dalam mengurus perizinan bisnis.

(Baca juga: 5 Kendala yang Dikeluhkan Investor, Salah Satunya Soal Regulasi).

Dijelaskan Enny, dalam EoDB itu pilar paling penting yang menentukan mengenai starting business atau mulai berusaha. Dalam laporan World Bank reformasi regulasi berada di peringkat tiga tapi peringkat EoDB tidak berubah berarti persoalannya di eksekusi regulasi. Apa yang dihadapi pelaku usaha saat mengurus perizinan tidak sesuai regulasi. “Misalnya, dalam pengurusan pembebasan lahan, insentif pajak dan komitmen layanan investasi tiga jam yang ternyata harus ada syarat-syarat yang dipenuhi dahulu,” jelas Enny kepada hukumonline, Sabtu (26/10/2019).

Menurut Enny, pemerintah harus memastikan regulasi yang sudah ditetapkan berjalan alias dipatuhi pejabat pemerintah di semua lini sehingga tidak membingungkan pelaku usaha. Selama ini, persoalan yang dikeluhkan pelaku usaha adalah kemudahan berusaha yang digaungkan Pusat tak berjalan sebagaimana mestinya. Terlebih lagi, pemerintah memprioritaskan investasi industri skala besar masuk ke Indonesia.

“Kalau yang ingin diundang investasi PMA (penanaman modal asing) dan PMDN (penanaman modal dalam negeri) tinggal telusuri saja permasalahannya dalam starting business. Bagi industri manufaktur atau industri besar yang paling dibutuhkan kepastian regulasi. Ada jenis-jenis kawasan industri masing-masing itu ada regulasinya tapi karena ada tarik menarik antar sektor dan kepentingan pusat daerah sehingga tumpang tindih,” jelas Enny.

Selain itu, dia berpendapat bahwa Indonesia masih perlu melakukan perbaikan terutama kepastian hukum terhadap kontrak-kontrak perizinan dan persaingan usaha. Ini ikut memengaruhi pandangan investor terhadap iklim investasi nasional. “Bagaimana caranya memperbaiki kepastian kontrak perizinan. Lalu perizinan usaha tidak berbelit-belit, tidak ada abuse of power sehingga semuanya jadi abu-abu. Dan bagaiman penindakan agar orang enggak berani macam-macam dalam perizinan sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait