Politik-Hukum Ruang Udara Internasional: FIR Indonesia dan Singapura
Kolom

Politik-Hukum Ruang Udara Internasional: FIR Indonesia dan Singapura

​​​​​​​Keberadaan FIR merupakan salah satu elemen yang dapat dilihat bagaimana suatu negara mampu menjaga kedaulatan negara di ruang udara.

Bacaan 2 Menit
Syarif Iqbal. Foto: Istimewa
Syarif Iqbal. Foto: Istimewa

Kunjungan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ke Singapura pada 8 Oktober 2019 lalu, kembali membuka tabir akan pentingnya ruang udara dalam tatanan kedaulatan teritorial negara serta kepastian hukum yang melekat di dalamnya. Kedua pemerintahan mencapai kesepakatan bersama mengenai kerangka kerja negosiasi Flight Information Region (FIR) Jakarta-Singapura untuk dibahas lebih lanjut.

 

Kesepakatan tersebut merupakan hasil dari serangkaian diplomasi keluar serta perbaikan-perbaikan internal oleh pemerintah Indonesia sejak 2015, berlandaskan ketentuan Undang Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Di mana dalam Pasal 458 berisi wilayah udara Republik Indonesia yang pelayanan navigasi penerbangan didelegasikan kepada negara lain harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak UU berlaku.

 

Permasalahan batas ruang udara antara Indonesia dengan Singapura di atas Kepulauan Riau, didasari oleh faktor historis dan politik-hukum antara subjek hukum internasional yang terlibat, dalam hal ini hubungan tripatriat antara Indonesia, Singapura dan ICAO (International Civil Aviation Organization).

 

Relasi antara politik dan hukum internasional seringkali menimbulkan suatu irisan yang berujung dengan adanya suatu konflik. Menurut Hans J. Morgenthau “kekuasaan nasional negara-negara dibatasi oleh balance of power, moralitas internasional, pendapat umum dunia, serta hukum interansional”. Singkat kata, setiap hubungan antar negara diatur oleh hukum, sedangkan hukum yang mengatur tersebut merupakan hukum internasional.

 

Dalam konteks definisi serta pengertian saat ini, hukum internasional melampaui pengertian secara tradisional sebagai sistem fondasi hubungan antar negara-negara. Kompleksitas isu-isu di tengah derasnya arus globalisasi membutuhkan organisasi/rezim internasional di setiap sektor sebagai legal standing termasuk di dalamnya yang menyangkut permasalahan di ruang udara.

 

Pemerintahan di Ruang Udara: Kontribusi dan Eksistensi Negara Anggota

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan dunia aviasi melesat jauh dari sekadar alat transportasi khalayak untuk mencapai destinasi tertentu. Peradaban manusia mampu mengeksplorasi serta mengeksploitasi sumberdaya alam di ruang udara, sebagai usaha guna memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan itu sendiri. Hal tersebut menjadikan komunitas internasional memulai usaha untuk merumuskan paket pengaturan dalam hal aviasi secara global demi keselamatan dan keamanan utamanya.

 

Sebagai produk yang dihasilkan melalui Konvensi Chicago 1944, ICAO memiliki konstitusi yang harus dipahami serta dijalani oleh negara-negara anggota (contracting states). Dalam perjalanannya, tugas-tugas yang dimandatkan oleh ICAO kepada negara-negara anggota memiliki fokus pada aspek-aspek teknis dan hukum atas aviasi sipil internaisonal.

Tags:

Berita Terkait