Penggantian Calon Legislatif Terpilih Oleh Partai Politik Menyalahi Undang-Undang Pemilu
Berita

Penggantian Calon Legislatif Terpilih Oleh Partai Politik Menyalahi Undang-Undang Pemilu

Memperlihatkan bagaimana aturan main diakali untuk kepentingan partai politik.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Narasumber dalam diskusi tentang PAW di Jakarta. Foto: Dhani
Narasumber dalam diskusi tentang PAW di Jakarta. Foto: Dhani

Menjelang penetapan dan pelantikan anggota DPR dan DPRD hasil Pemilu 2019, ada sejumlah penggantian calon terpilih dari partai politik. Sejumlah calon terpilih yang mendapatkan suara rakyat ini diganti pada saat penetapan calon terpilih. Bahkan, ada yang diganti menjelang pelantikan. Dalam konteks ini, penggantian anggota DPR dan juga anggota DPRD dilakukan dalam ‘ruang kosong’. Ruang kosong ini terjadi antara penetapan calon terpilih oleh KPU pasca putusan perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi dengan tahapan pelantikan anggota DPR dan DPRD.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebutkan, seharusnya tidak ada lagi mekanisme pergantian calon terpilih di dalam ruang kosong ini. “Jika terdapat pergantian, terutama pergantian karena kebijakan partai dengan berbagai alasan. Harusnya dilakukan mekanisme pergantian antar waktu setelah calon anggota DPR dan DPRD terpilih dilantik,” ujar Titi dalam sebuah diskusi, Senin (28/10), di Jakarta.

Menurut Titi, setelah putusan MK yang berkekuatan final dan mengikat yang menyelesaikan perselisihan proses atau hasil, seluruh kemungkinan pergantian calon dalam tahapan pelaksanaan pemilu sudah tidak ada lagi. Berdasarkan catatan Perludem, setidaknya ada dua partai politik yang melakukan penggantian calon terpilih, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra.

PDIP melakukan penggantian calon terpilih anggota DPR pada saat sidang pleno penetapan calon yang dilakukan KPU, 31 Agustus 2019. Saat KPU menetapkan hasil Pemilu 2019, PDIP meminta pergantian tiga anggota DPR terpilih. Satu di Dapil Sumatera Selatan I karena calon terpilih meninggal dunia; di Dapil Kalimantan Barat I ada dua orang caleg diganti karena ada yang dipecat partai dan ada yang mengundurkan diri dari partai.

Menurut Titi, untuk kasus meninggal dunia relevan untuk diganti. Sementara untuk kasus pemecatan dan pengunduran diri, harusnya dilakukan setelah proses pelantikan selesai. “Karena mekanisme pergantian itu harus dilakukan dengan pembuktian di dalam proses persidangan yang fair,” ujarnya.

Di Partai Gerindra, pergantian calon terpilih ini karena adanya gugatan dari sejumlah caleg kepada kader partai gerindra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun dari penggantian calon ini ada beberapa hal yang perlu dicermati. Jika membaca putusan PN Jaksel tersebut, terdapat keterangan ahli yang menyatakan bahwa jika suara partai politik lebih besar dari pada suara caleg maka partai politik dapat menentukan siapa yang berhak mendapatkan kursi. “Hal ini tentu bertentangan dengan sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar Titi.

Dalam gugatan Partai Gerindra di PN Jaksel, majelis mempertimbangkan  bahwa tanpa adanya suara partai in casu, Partai Gerindra tidak mendapatkan kursi di dapil tersebut. Dengan demikian sangatlah wajar jika Gerindra memiliki kewenangan absolut untuk menentukan caleg. Atas dasar pertimbangan itu, Gerindra menetapkan sebagai caleg terpilih.

Tags:

Berita Terkait