Regulasi Longgar, Industri Tekstil Domestik “Sekarat”
Utama

Regulasi Longgar, Industri Tekstil Domestik “Sekarat”

Produk tekstil dibanjiri barang impor terutama Cina. Sejumlah perusahaan tekstil terancam gulung tikar.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi Upaya Penyelamatan Industri Tekstil Indonesia. Foto: MJR
Acara diskusi Upaya Penyelamatan Industri Tekstil Indonesia. Foto: MJR

Persoalan industri tekstil domestik berada dalam kondisi tidak sehat saat ini. Banjir produk impor akibat regulasi yang longgar dianggap menjadi penyebab utama industri tekstil nasional kalah saing. Terlebih lagi, sejumlah mesin tekstil yang tua sehingga dinilai tidak mampu berproduksi memenuhi kebutuhan pasar. Alhasil, sejumlah perusahaan tekstil nasional juga dikabarkan harus gulung tikar karena tidak sanggup bersaing.

 

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional sebetulnya sempat memasuki era kejayaan pada saat pertumbuhuan industri ini pada 1980-an. Tahun 2007, perdagangan industri ini mencatatkan surplus hingga mencapai USD7,8 miliar ketika pada tahun 2001 hanya surplus USD5,2 miliar. Namun demikian, kondisi itu berbalik di periode 2008 hingga tahun 2018 dan bisa berlanjut hingga beberapa tahun mendatang. Pada tahun 2008, surplus industri ini hanya mencatatkan USD5,04 miliar dan pada 2018 menurun drastis menjadi USD3,2 miliar. Penyebab utama adalah gempuran tekstil impor yang berasal terutama dari Cina.

 

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64/M-DAG/PER/8/2017 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 85/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil berdampak pada semakin derasnya laju impor produk TPT. Melihat regulasi tersebut menekan industri domestik, pemerintah merevisi dan menggantikannya dengan Permendag Nomor 77/2019.

 

Namun, Esther menilai revisi regulasi tersebut masih menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku industri seperti belum transparannya kuota impor hingga belum terlihat upaya untuk membatasi Pengusaha dalam Pusat Logistik Berikat (PDPLB) untuk memperjualbelikan barang langsung ke pasar domestik.

 

“Permasalahan industri tekstil ini terjadi karena kebijakan tata niaga tekstil. Kuota impor belum transparan sehingga perlu dibuat terbuka agar tidak saling iri. Lalu, ada juga unvder value impor tekstil misalnya di Cina tercatat ekspor ke Indonesia 100 ternyata impor Indonesia hanya 80. Ini artinya terjadi banjir impor dan menyebabkan kerugian negara,” jelas Esther.

 

(Baca: Ini Keluhan Investor Tekstil dan Alas Kaki)

 

Berdasarkan kajian Indef, terjadi pembiaran terhadap praktik kecurangan penuruan harga dan volume di kawasan PLB. Pada tahun 2018 dan sepanjang 2019, penurunan harga untuk impor TPT mencapai 73 persen dimana importir di PLB hanya membayar pajak tidak sampai 30 persen dari seharusnya. Praktik ini menimbulkan potensi pendapatan negara yang hilang dari pajak impor di PLB mencapai Rp450 miliar. Tahun ini tidak menutup kemungkinan kerugian negara dalam hal pendapatan, bisa melonjak tajam. Hal ini dibuktikan dengan temuan 309 importir produk TPT yang diduga melakukan pelanggaran di PLB.

 

Kementerian Perdagangan didesak segera merevisi Permendag 64 Tahun 2017 secara menyeluruh. Permendag Nomor 77 Tahun 2019 yang merupakan revisi dari Permendag nomor 64 Tahun 2017, dianggap belum dapat menjadi jaminan bahwa impor produk TPT melalui PLB berkurang. Pasalnya revisi Permendag tersebut masih memperbolehkan impor melalui PLB walapun sekarang perlu menggunakan Persetujuan Impor TPT (PI-TPT). Importir nakal masih bisa melakukan pelanggaran dalam PLB menggunakan PI-TPT. Selain itu, Pengusaha Dalam PLB (PDPLB) masih belum diberikan pengawasan ketat untuk tidak memperjualbelikan barang langsung ke market lokal.

Tags:

Berita Terkait