Masalah Bahasa Dalam Perjanjian Bilingual Pasca Terbitnya Perpres Bahasa Indonesia
Kolom

Masalah Bahasa Dalam Perjanjian Bilingual Pasca Terbitnya Perpres Bahasa Indonesia

Para pihak, terutama pihak asing, harus lebih memperhatikan proses perumusan perjanjian dengan model bilingual di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Bagus Aditya. Foto: Istimewa
Bagus Aditya. Foto: Istimewa

Pendekatan umum terhadap penggunaan bahasa dalam perjanjian Indonesia antara pihak asing dengan pihak Indonesia adalah (untuk kemudahan, akan diasumsikan pihak selain Indonesia akan menggunakan Bahasa Inggris): i) menggunakan hanya salah satu bahasa, Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris saja; dan ii) menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris secara bersamaan dalam satu dokumen perjanjian (model bilingual). Pada beberapa kasus juga dapat ditemui perjanjian yang menggunakan bahasa Indonesia saja namun dengan melampirkan hasil diskusi/negosiasi para pihak yang dilakukan dalam Bahasa Inggris.

 

Pendekatan yang terbukti paling baik terkait penggunaan bahasa adalah perjanjian ditulis secara akurat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (model bilingual). Perjanjian model bilingual menjamin bahwa para pihak paham atas hak dan kewajibannya, mekanisme yang harus dilakukan apabila peristiwa yang tidak terduga terjadi, dan metode penyelesaian sengketa apabila para pihak tidak dapat menyelesaikannya sendiri. Pemahaman atas ketiga unsur ini adalah pondasi agar suatu perjanjian dapat diimplementasikan dengan baik.

 

Ketika para pihak telah sepakat untuk membuat perjanjian model bilingual, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang akan terjadi apabila terdapat perbedaan-perbedaan penafsiran dalam kedua versi bahasa. Kondisi pertama, perjanjian tidak mengatur bahasa rujukan (governing/prevailing languange) atau menyebutkan bahwa kedua versi bahasa akan berlaku sama. Konsekuensi dari pengaturan seperti ini adalah hakim (atau arbiter apabila penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase) dapat menentukan sendiri versi bahasa mana yang akan mereka gunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan sengketa.

 

Situasi kedua, perjanjian sudah memuat pasal mengenai bahasa rujukan. Biasanya, salah satu bahasa akan dianggap sebagai bahasa rujukan. Terkait dengan hal ini, timbul pertanyaan, apakah dimungkinkan untuk menentukan bahwa Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa rujukan.

 

Pasal 31 ayat (1)Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009)menyatakan bahwa, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”.

 

Lebih lanjut, Pasal 31 ayat (2) UU No. 24/2009 menyebutkan, “Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Pada bagianPenjelasan Pasal 31 ayat (2) menyebutkan, “Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya”. Dengan demikian, pada dasarnya UU No. 24/2009 tidak mengatur versi bahasa mana yang dapat menjadi bahasa rujukan dan hanya menyatakan bahwa kedua versi bahasa yang digunakan sama kuatnya.

 

Filosofi dari Pasal 31 UU No. 24/2009 sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa para pihak dalam perjanjian mempunyai persepsi dan pemahaman yang sama terhadap isi perjanjian yang disepakati di antara mereka. Ketika pihak yang berkepentingan dalam suatu proyek sebagiannya adalah pihak asing, berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 KUHPerdata, para pihak dapat memilih bahasa yang dipahami oleh semua pihak terkait (common language) sebagai bahasa rujukan. Untuk proyek yang para pihaknya berasal dari negara-negara yang berbeda tentu lebih logis apabila memilih Bahasa Inggris sebagai bahasa rujukan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait