95 Tahun FHUI: Sumbangsih untuk Bangsa yang Plural
Kolom

95 Tahun FHUI: Sumbangsih untuk Bangsa yang Plural

“Setiap negeri mempunyai Universitas yang layak baginya.”

Bacaan 2 Menit
Yu Un Oppusunggu. Foto: Istimewa
Yu Un Oppusunggu. Foto: Istimewa

Dua peristiwa penting sejarah bangsa Indonesia terjadi pada tanggal 28 Oktober. Yang pertama, dan lebih terkenal, terjadi pada tahun 1928. Kongres Pemuda II menghasilkan Sumpah Pemuda yang menyatakan bahwa mulai saat itu putra dan putri Indonesia mengaku bertanah-air, berbangsa, dan berbahasa Indonesia. Peristiwa kedua terjadi tepat empat tahun sebelumnya, yakni ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. Dirk Fock, membuka RHS di Balai Sidang Museum van het Koninklijk Bataviaasche Gennootschap van Kunsten en Wetenschappen (Museum Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Batavia), sekarang Museum Nasional atau Museum Gajah.

 

Tulisan singkat ini mengajak pembaca untuk melihat benang merah antara kedua peristiwa tersebut dalam rangka memperingati dies natalis ke-95 Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Keduanya merupakan serangkaian peristiwa, yang merajut peristiwa-peristiwa lain dalam tonggak sejarah bangsa dan negara Indonesia. Dalam kesatuan tanah-air yang kemudian terwujud dalam konsep negara kepulauan (archipelagic state); kebangsaan Indonesia sebagaimana terwujud sejak Proklamasi; serta kesatuan berbahasa, kiprah institusi dan sivitas akademika FHUI nyata terlihat.

 

28 Oktober 1924 menjadi fokus kita untuk serangkaian peristiwa kebangsaan. Pada tanggal tersebut, Paul Scholten berpidato di depan Gubernur Jenderal dan para hadirin saat pembukaan RHS. Sambil mempertanggungjawabkan tugas yang ia terima dari Menteri Daerah Jajahan untuk menyiapkan pendirian RHS, guru besar termasyhur dari Universitas Amsterdam ini juga memaparkan secara singkat visinya. Scholten mengatakan bahwa, “[RHS] adalah sebuah sekolah, karena itu harus memuaskan kebutuhan akan pengetahuan, [RHS] adalah sekolah tinggi, karena itu harus mengejar ilmu pengetahuan, [RHS] adalah sekolah tinggi hukum, berhubungan dengan pengetahuan hukum dan pada akhirnya instansi hukum itu sendiri.” Salah satu bentuk perwujudan visi tersebut adalah adanya mata kuliah intergentiel recht (sekarang hukum antartata hukum atau HATAH), yang tidak dikenal dalam kurikulum pendidikan hukum di Eropa.

 

Mengapa tidak dikenal? Sebab pluralisme masyarakat dan hukum di Nusantara sangat berbeda dengan kondisi masyarakat Eropa. Penduduk Hindia Belanda terbagi ke golongan penduduk (bevolkingsgroep) – Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Di satu sisi, pembagian demikian berfungsi untuk menopang struktur masyarakat kolonial. Di sisi lain, pembagian tersebut merupakan suatu kondisi yang sulit dielakkan karena kemajemukan masyakat Nusantara. Baik Pemerintah Kolonial maupun para ahli hukum menyadari tantangan ini. Awalnya Pemerintah Kolonial hendak memberlakukan satu hukum – hukum Eropa – bagi semua penduduk. Namun akibat protes Cornelis van Vollenhoven, Pemerintah Eropa menerapkan pluralisme hukum. Bagi golongan Eropa berlaku hukum Eropa; bagi golongan Eropa berlaku sebagian hukum Eropa dan hukum kebiasaan; bagi golongan Bumiputera berlaku hukum adat.

 

Meski van Vollenhoven membagi Nusantara ke dalam sembilan belas wilayah hukum adat, namun tidak ada yang tahu persis bagaimana bunyi hukum adat tersebut serta jumlahnya. Mengapa demikian? Sebab untuk mengetahui secara persis subtansi hukum tersebut harus terlebih dahulu dilakukan survei atau penelitian. Hukum adat dimiliki oleh masyarakat adat. Sekarang kita menyebutnya sebagai suku bangsa. Namun sebelum Sumpah Pemuda, mereka adalah bangsa. Bagi Belanda, hukum mereka masih merupakan misteri.

 

Adalah R. D. Kollewijn yang menyakinkan mantan gurunya di Amsterdam tentang kebutuhan akan suatu ilmu yang baru. Dalam suatu percakapan dari Semarang ke pegunungan Dieng, Kollewijn berhasil menyakinkan Scholten bahwa kompleksitas masalah hukum di Hindia Belanda membutuhkan suatu mata kuliah yang sama sekali asing bagi orang Eropa. Intergentiel recht – secara harafiah berarti hukum antarbangsa – menjadi satu dari dua puluh empat mata kuliah dalam kurikulum RHS. Mata kuliah ini terus menjadi bagian kurikulum pendidikan hukum di FHUI sampai sekarang.

 

“Antarbangsa” di sini berbeda dengan “internasional”. Hal tersebut pertama-tama karena kelompok manusia yang hidup di Nusantara belum dapat dikategorikan sebagai “bangsa” dalam perspektif hukum internasional masa itu. Namun mereka merupakan “bangsa” dalam perspektif antropologi, sebab mereka mempunyai adat-kebiasaan serta hukum yang berbeda dari kelompok manusia lainnya. Itulah sebabnya pemahaman tentang mereka membutuhkan pendekatan keilmuan yang berbeda. Itu juga sebabnya mengapa para peserta menyebut diri mereka dengan nama seperti Jong Java, Jong Soematra, Jong Bataksbond, atau Pemoeda Kaoem Betawi.

Tags:

Berita Terkait