Menggagas Pembaharuan Aturan Kepailitan
Kolom

Menggagas Pembaharuan Aturan Kepailitan

Perlu ada sinkronisasi dengan UU lain, sekaligus penegasan mengenai tugas dan peran kurator agar tidak tumpang tindih dengan profesi lainnya.

Bacaan 2 Menit
Menggagas Pembaharuan Aturan Kepailitan
Hukumonline

Perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di pengadilan niaga Indonesia terbilang sangat tinggi. Dalam tiga tahun terakhir, perkara kepailitan dan PKPU mengalami tren kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahunnya. Pengadilan niaga Indonesia terdapat di lima kota besar yakni Jakarta, Semarang, Makasar, Medan dan Surabaya.

 

Berdasarkan data yang dipublikasikan melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Mahkamah Agung menunjukkan bahwa tren kenaikan perkara kepailitan dan PKPU terjadi di semua pengadilan niaga di Indonesia dengan distribusi perkara terbanyak ada di pengadilan niaga Jakarta. Hal ini dapat dipahami karena Jakarta selain merupakan ibu kota negara juga merupakan pusat dari semua kegiatan perekonomian.

 

Mengenai tren meningkatnya perkara kepailitan dan PKPU di seluruh pengadilan niaga di Indonesia ini menarik dianalisis. Hingga akhir semester I 2018 perkara kepailitan dan PKPU sebagaimana dipublikasikan dalam SIPP Mahkamah Agung adalah sejumlah 163 Perkara, pada periode yang sama tahun 2017 jumlah perkara di pengadilan niaga sejumlah 141 perkara dan tahun 2016 pada periode yang sama sejumlah 94 perkara. Data ini menunjukkan bahwa year on year jumlah perkara kepailitan dan PKPU di seluruh pengadilan niaga mengalami kenaikan signifikan dari tahun ke tahun.

 

Banyak kalangan menilai tingginya angka kepailitan dan PKPU ini sebagai dampak dari perlambatan ekonomi. Perlambatan ekonomi yang menyebabkan industri terpuruk telah terjadi beberapa tahun belakangan dan dampaknya semakin dirasakan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari distribusi perkara kepailitan dan PKPU yang hampir merata pada seluruh industri di seluruh pengadilan niaga. Persoalan esensial sebenarnya terkait hal ini adalah bukan terjadinya perlambatan ekonomi tetapi karena aturan hukum kepailitan di Indonesia perlu diperbaharui sehingga ada batasan untuk mengajukan pailit dan PKPU sehingga dengan demikian fokusnya adalah restrukturisasi hutang.

 

Arah Pembaharuan

Persoalan kepailitan dan PKPU diatur melalui Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Aturan ini merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Kepailitan dan PKPU yang lahir pada masa krisis moneter tahun 1998.

 

Regulasi kepailitan dan PKPU mendesak untuk segera diperbaharui mengingat UU Kepailitan dan PKPU yang ada saat ini lebih teraplikasi untuk mengakhiri kegiatan usaha debitur ketimbang menyelematkan. Dalam Pasal 2 ayat (1) misalnya, hanya dipersyaratkan minimal memiliki dua kreditur dan salah satunya belum dibayar, sehingga jika syarat ini dipergunakan untuk mengajukan syarat pailit dan PKPU akan rawan dan potensial terjadinya pailit dan PKPU sebagaimana melonjaknya angka perkara kepailitan dan PKPU pada pengadilan niaga. Idealnya syarat pengajuan gugatan adalah dengan menggunakan minimum threshold persentase yakni misalnya diajukan oleh minimal 75 persen dari total jumlah kreditur yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar.

 

Persoalan lainnya dalam UU Kepailitan dan PKPU adalah kreditur separatis yang berhak mempailitkan dan ikut dalam voting tanpa kehilangan hak atas agunannya. Persoalan kreditur separatis ini menimbulkan ketidakadilan mengingat hak kreditur telah dilindungi oleh agunan atas kekayaan debitur namun debitur tetap dipailitkan atas voting dari kreditur separatis tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait