Gaduh Pembahasan APBD DKI, Ada Ketentuan Undang-Undang yang Diabaikan
Berita

Gaduh Pembahasan APBD DKI, Ada Ketentuan Undang-Undang yang Diabaikan

Ditemukan sejumlah fakta seperti munculnya temuan-temuan komponen kegiatan yang masih perlu diamati kembali oleh publik.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi anggaran. Foto: HOL
Ilustrasi anggaran. Foto: HOL

Ribut-ribut soal Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta menarik perhatian banyak pihak. Bagaimana tidak, rencana belanja lem aica aibon saja menghabiskan anggaran miliaran rupiah. Ini baru satu dari sekian banyak komponen belanja yang masuk dalam rancangan APBD DKI. Meski Gubernur DKI Jakarta telah mengklarifikasi terkait hal ini, berdasarkan penelitian yang dikeluarkan oleh Indonesia Budget Center (IBC), ada aturan yang tidak diperhatikan terkait politik penganggaran di DKI.

“Ternyata di sini ada amanat Undang-Undang yang tidak dijalankan oleh pemerintah daerah dalam hal ini pemprov DKI Jakarta,” ujar peneliti Indonesia Budget Center, Rahmat, di Jakarta, Senin (4/11).

Menurut Rahmat, terdapat sejumlah prinsip yang menrupakan amanat dari UU No. 17 Tahun 2003 dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2019 yang tidak dijalankan dengan benar dalam tahapan pembahasan RAPBD DKI Jakarta. Prinsip yang dimaksud antara lain prinsip pengelolaan keuangan negara yang akuntabel, ekonomis, efektif, dan efisien.

Konsekuensi pengabaian prinsip pengelolaan anggaran antara lain adalah munculnya temuan-temuan komponen kegiatan yang masih perlu diamati kembali oleh publik. “Karena memang Pemprov juga melihat bahwa ada upaya untuk tidak mengeluarkan transparansi,” ujar Rahmat.

Berdasarkan hasil kajian sementara IBC, ada beberapa pola alokasi anggaran yang didistribusikan secara ganda kepada lebih dari satu suku dinas di daerah. Menurut Rahmat, pola distribusi anggaran semacam ini mencerminkan ada permasalahan dalam politik anggaran di DKI Jakarta. Muara dari permasalahan ini bisa berupa pemborosan anggaran daerah. IBC juga menemukan duplikasi anggaran dalam rancangan KUA PPAS APBD 2020, yakni di biro kepala daerah dan luar negeri. Ada honorarim tenaga ahli untuk gubernur dan wakil gubernur yang telah dianggarkan di biro kepala daerah sebesar 360 juta. Namun anggaran ini juga ditemukan di suku dinas lain, Suku Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik Kepulauan Seribu yang dialokasikan sebesar 240 juta. “Ini yang kami katakan duplikasi anggaran dimana anggaran yang sudah dianggarkan di instansi tertentu tetapi dianggarkan juga di instansi lainnya yang kami anggap tidak tepat sasaran,” ungkap Rahmat.

Ia khawatir beberapa mata anggaran bermasalah bisa lolos karena waktu pembahasan singkat. Jika tidak dilihat satu per satu dengan baik, anggaran itu potensial dikorupsi. “Ini juga bisa menjadi salah satu indikasi bahwa adanya potensi korupsi yang kira-kira bisa dilakukan pada RAPBD 2020, karena kami menyakini bahwa korupsi bisa terjadi ketika perencanaan sangat buruk,” ujar Rahmat.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan publik belum bisa mengakses portal APBD DKI Jakarta. ICW sulit mengakses informasi mengenai apa saja yang menjadi pembahasan Pemprov DKI bersama DPRD.  “Jadi ICW berharap Pemprov DKI Jakarta lebih terbuka terhadap publik untuk membuka dokumen penting dalam perencanaan dan pembahasan APBD ini,” ungkap Almas.

Tags:

Berita Terkait