Sewindu UU Bantuan Hukum, Ini 4 Saran dari YLBHI
Berita

Sewindu UU Bantuan Hukum, Ini 4 Saran dari YLBHI

Peraturan yang melegitimasi ketidakadilan tak sejalan dengan tujuan dan prinsip pemberian bantuan hukum.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemberian bantuan hukum. Foto: Istimewa
Ilustrasi pemberian bantuan hukum. Foto: Istimewa

Diberlakukan mulai 2 November 2011, implementasi UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum telah melewati waktu sewindu. Dalam waktu sewindu, ada banyak hal yang terjadi. Misalnya, jumlah organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) mengalami peningkatan, masih ada PBH yang belum sepenuhnya menyadari sistem pelaporan keuangan dana bantuan hukum, dan formasi PBH yang belum merasa di seluruh kabupaten/kota di Tanah Air.

Dalam menjalankan mandat UU Bantuan Hukum, Pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukun dan HAM telah mengambil beberapa langkah kebijakan untuk menunjang penyelenggaraan bantuan hukum. Misalnya, menerbitkan sejumlah  regulasi yang mengatur pemberian bantuan hukum, termasuk peraturan menteri tentang paralegal. Selain itu, ada alokasi anggaran bantuan hukum dalam APBN; pada 2019 Pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan hukum sebesar 53 miliar rupiah.

Pemerintah juga melakukan verifikasi terhadap organisasi PBH. Dalam periode 2019-2021, ada 524 organisasi PBH yang dinyatakan berhak memberikan bantuan hukum kepada orang miskin berdasarkan mekanisme UU Bantuan Hukum. Dalam rangka itu pula, BPHN telah membangun sistem informasi dan dokumentasi bantuan hukum yang berbasis teknologi informasi (Sidbankum).

(Baca juga: Ada 524 PBH Dampingi Orang Miskin untuk Hadapi Masalah Hukum).

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengapresiasi langkah-langkah yang telah ditempuh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM selama ini. Namun untuk mewujudkan akses keadilan bagi masyarakat, YLBHI menyarankan empat langkah yang penting dilakukan pemerintah ke depan.

Pertama, mencabut atau merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang melegitimasi ketidakadilan. Peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang melegitimasi ketidakadilan justru akan berseberangan dengan konsep bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum tidak membeda-bedakan orang berdasarkan agama, pilihan politik, ras, dan asal muasal. Syarat mendapatkan bantuan hukum adalah miskin.

YLBHI mencatat masih ada peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber ketidakadilan, seperti peraturan perundang-undangan yang melegitimasi kriminalisasi hak beragama dan berekspresi, melegitimasi perampasan tanah rakyat, melegitimasi pencemaran dan perusakan lingkungan, melegitimasi penggusuran paksa, dan melegitimasi persekusi kelompok minoritas.

Ketua Umum Badan Pengurus YLBHI, Asfinawati, memberi contoh ketentuan yang melegitimasi ketidakadilan adalah aturan penodaan agama dalam KUHP, serta UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedua aturan yang disebut Asfin telah memakan banyak ‘korban’, dan sebagian diadvokasi oleh Lembaga Bantuan Hukum di bawah YLBHI. Kasus Baiq Nuril di Nusa Tenggara Barat adalah contoh nyata bagaimana UU ITE dijadikan legitimasi ketidakadilan; korban justru diproses dan diadili.

Tags:

Berita Terkait