Mengurai Kewenangan Dewan Pengawas KPK
Kolom

Mengurai Kewenangan Dewan Pengawas KPK

Kewenangan Dewan Pengawas KPK dalam pemberian izin penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan tidak sesuai dengan asas equality before the law. Sebagai lembaga yang masuk ranah eksekutif, konsekuensinya Dewas dapat menjadi salah satu pihak dalam praperadilan.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa

Resmi sudah pemberlakukan UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Polemik soal kewenangan lembaga antirasuah masih terus menjadi perbincangan di publik. Satu di antaranya, menyoal tentang keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

 

Lantas apakah keberadaan Dewas menggerus kewenangan komisioner KPK? Pengaturan keberadaan Dewas diatur dalam Pasal Pasal 37B ayat (1) huruf b yang menyebutkan,  “memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan”.

 

Merujuk pandangan Mardjono Reksodiputro, tindakan penggeledahan/penyitaan merupakan suatu “an intrusion on somebody’s privacy” yang dilakukan secara fisik, terlihat dan terasa sedangkan tindakan penyadapan atau intersepsi dilakukan tidak secara fisik, tidak terlihat dan tidak terasa. Oleh karena itu tindakan penyadapan atau intersepsi dapat disebut sebagai bentuk upaya paksa yang khusus.

 

Kekhususan di sini bukan penanganan khusus yang dikaitkan dengan extra ordinary crimes atau upaya yang digunakan untuk menangani kejahatan yang luar biasa. Karena itu, perlu ditegaskan untuk menghindari kesalahpahaman tentang penggunaan istilah extra ordinary crimes yang selama ini ditujukan bagi tindak pidana korupsi.

 

Extra ordinary crimes merupakan bentuk kejahatan yang telah disepakatidalam Statuta Roma dan berada dalam yurisdiksi International Criminal Court yang terdiri dari genocide (article 6), Crimes Assault Humanity (article 7), War Crimes (article 8), dan Crime Agression (article 8 bis).2) yang menjadi landasan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

 

Kekhususan dimaksud dalam upaya paksa, akibat adanya perbedaan tindakan penerapannya. Secara fisik, tindakan penggeledahan dan penyitaan terlihat dan terasa. Sebaliknya, tindakan penyadapan tidak terlihat secara fisik serta tidak terasa. Kekhususan lainnya, penyadapan memiliki banyak istilah dan bentuk. Seperti, eavesdropping, wiretapping, interception dan electronic surveillance.

 

Mengacu Pasal 38  ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana  menyebutkan, “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat”. Sementara ayat (2) menyebutkan, “Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya”.

Tags:

Berita Terkait