Mengenal Dwangsom dan Jejaknya dalam Hukum Indonesia
Berita

Mengenal Dwangsom dan Jejaknya dalam Hukum Indonesia

Pada mulanya dikenal dalam hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi uang paksa atau dwangsom. Ilustrator: HGW
Ilustrasi uang paksa atau dwangsom. Ilustrator: HGW

Apa yang bisa dilakukan untuk memastikan pihak lawan, katakanlah tergugat, mematuhi putusan pengadilan? Jawaban atas pertanyaan bisa beragam. Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mungkin saja jawabannya mengadukan sikap pejabat yang menolak melaksanakan putusan kepada atasannya, atau mengumumkan respons si pejabat di media massa. Dalam suatu diskusi mengenai eksekusi putusan di Jakarta, akhir Oktober lalu, seorang hakim menyebut opsi lain: meminta agar hakim menjatuhkan uang paksa. Uang paksa dikenal juga di lingkungan peradilan tata usaha negara. “Tapi aturan detilnya belum ada,” ujar sang hakim.

Hakim memang punya kewenangan untuk menjatuhkan putusan berupa kewajiban membayar uang paksa. Belum lama ini, majelis hakim Mahkamah Agung menghukum PT Indonesia Air Asia Extra untuk membayar ganti kerugian kepada empat orang penumpang yang gagal terbang menggunakan maskapai Air Asia. Keempat orang penumpang ditolak masuk pesawat karena nama salah seorang penumpang masuk daftar hitam. Selain menghukum tergugat membayar ganti rugi dan permohonan maaf di media cetak, majelis menjatuhkan sanksi lain berupa pembayaran uang paksa sebesar 500 ribu per hari keterlambatan melaksanakan putusan.

David ML Tobing, pengacara para penggugat, menjelaskan permohonan pembayaran uang paksa diajukan untuk memberikan jaminan bahwa tergugat akan mematuhi putusan hakim. Uang paksa menjadi semacam upaya paksa secara tidak langsung agar tergugat yang kalah menjalankan putusan pengadilan secara sukarela dan sesegera mungkin. Semakin lama tidak menjalankan putusan pengadilan, semakin besar uang paksa yang harus dibayar.

Uang paksa, begitulah kalangan hukum mengartikan istilah ‘dwangsom’ yang dikenal dalam literatur Belanda, atau astreinte dalam bahasa Perancis. Lalu, apa yang dimaksud dengan uang paksa itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa versi edisi keempat (September 2015)  tak memuat sama sekali lema ‘uang paksa’ atau dwangsom. Sebaliknya, beberapa kamus, seperti Kamus Istilah Hukum Populer karya Jonaedi Efendi dkk (2016), Kamus Hukum karya Sudarsono (2009), The Contemporary Law Dictionary karya Martin Basiang (2009), dan Kamus Hukum yang disusun Setiawan Widagdo (2012). Basiang mengartikan dwangsom sebagai uang paksa yang ditetapkan sebagai hukuman yang harus dibayar.

Rocky Marbun dkk, dalam Kamus Hukum Lengkap  (2012), mengartikan dwangsom sebagai tuntutan uang paksa atau hukuman tambahan bagi tergugat agar menjalankan prestasinya dengan sukarela. Kamus hukum lain, Kamus Hukum Kontemporer karya M Firdaus Sholihin dan Wiwin Yulianingsih (2016), menegaskan bahwa dwangsom atau uang paksa adalah alat eksekusi secara tidak langsung.

Apapun definisi yang termuat dalam kamus, semua sepakat bahwa dwangsong diartikan sebagai uang paksa, suatu istilah yang familiar di kalangan hakim perdata. Setidaknya, beberapa nama hakim tercatat menaruh perhatian khusus pada konsep hukum ini, yakni Ketua Mahkamah Agung (2009-2012) Harifin A Tumpa, dan Lilik Mulyadi. Yang disebut terakhir pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hakim lain, Arsyad Sanusi, pernah membuat tulisan tentang dwangsom di majalah Varia Peradilan yang diterbitkan Mahkamah Agung. Karya para hakim tersebut telah berjasa menemukan kembali jejak dwangsom dalam sistem hukum Indonesia.  

Istilah dwangsom itu dapat dibaca dari rumusan Pasal 611a ayat (1) Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRV), yaitu suatu hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa ketika berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentie Gerecht. Sedangkan hukum acara yang berlaku bagi golongan Bumiputera adalah HIR dan RBg. Dua yang disebut terakhir masih berlaku hingga sekarang.

Tags:

Berita Terkait