CHA Bicara Praktik Keperdataan di Era Revolusi Industri 4.0
Berita

CHA Bicara Praktik Keperdataan di Era Revolusi Industri 4.0

Salah satu CHA mengusulkan perkembangan hukum perdata di era revolusi industri 4.0 dibutuhkan pembaharuan dalam UU khusus yang mengatur aspek-aspek digital elektronik.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Salah satu CHA menjalani seleksi wawancara di Gedung KY Jakarta, Rabu (13/11). Foto: AID
Salah satu CHA menjalani seleksi wawancara di Gedung KY Jakarta, Rabu (13/11). Foto: AID

Komisi Yudisial (KY) menggelar seleksi wawancara terhadap calon hakim agung (CHA). Di hari kedua, Rabu (13/11/2019) kemarin, para CHA yang diwawancarai berasal dari kamar perdata yakni Dwi Sugiarto, Maryana, Rahmi, dan Sumpeno. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan salah satu Panelis Komisioner KY Farid Wajdi mengenai bagaimana penerapan hukum perdata di era revolusi industri 4.0 kepada CHA kamar perdata itu.  

 

“Apakah sudah siap hukum perdata Indonesia memasuki revolusi industri 4.0?” tanya Farid Wajdi kepada Dwi Sugiarto di Gedung KY Jakarta, Rabu (13/11/2019). Baca Juga: KY Gelar Seleksi Wawancara 13 Calon Hakim Agung

 

Dwi Sugiarto mengatakan saat ini perkembangan teknologi terus mengalami perubahan pesat. Hal ini pun telah disadari oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya, sehingga MA telah menerapkan beberapa aplikasi berbasis elektronik untuk memudahkan dan mempercepat penanganan perkara di pengadilan, seperti e-court dan e-litigation. 

 

Menurut Dwi, sebenarnya hukum perdata Indonesia (KUHPerdata) belum menjangkau revolusi industri 4.0. Namun, pengaturan yang mengakomodir perkembangan teknologi tersebar di beberapa peraturan lain, seperti UU ITE dan UU lain. Dengan kata lain, kata dia, hukum perdata Indonesia tertinggal dengan perkembangan teknologi, khususnya menghadapi revolusi industri 4.0.

 

“Hukum perdata kita belum menjangkau hal tersebut, tapi ini bisa dilakukan dengan perjanjian (kebebasan berkontrak) dalam bentuk lisan atau tulisan terkait pengaturan perkembangan teknologi, inilah yang menjadi tantangan yang harus kita hadapi,” kata Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar ini.

 

Lalu, Farid kembali bertanya mengenai aplikasi transportasi online, seperti go food, go pay, e-money dan sejenisnya. Saat ada pihak pengguna (konsumen) yang keberatan dalam penggunaannya, lalu masuk sengketa perdata. “Kira-kira bagaimana hukum positif menjangkau kasus ini, lembaga peradilan harus bersikap seperti apa?”

 

Dwi menjawab dengan sebuah ilustrasi kasus, misalnya pesanan (barang) diantarkan melalui aplikasi online ke daerah A. tetapi pengantar pesanan ingkar. Padahal, data transaksi, seperti jenis barang dan alamat pemesan sudah tercantum dalam aplikasi di handphone. “Apabila ini diingkari bisa masuk sengketa di pengadilan. Penerapan hukumnya, masuk dalam wanprestasi. Ini bisa menjadi pengembangan wanprestasi (di era teknologi),” kata dia.

Tags:

Berita Terkait