Revisi UU Kepailitan dan PKPU Momentum Perbaikan Tupoksi Pengurus Utang
Utama

Revisi UU Kepailitan dan PKPU Momentum Perbaikan Tupoksi Pengurus Utang

Pengurus dalam PKPU sangat penting sebagai pihak penengah antara debitur dan kreditur. Sayangnya, dalam praktik, pengurus sering bertindak hanya sebagai tukang catat.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Partner pada kantor hukum ADCO Law, Rizky Dwinanto (kiri) dan akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Teddy Anggoro (kanan) dalam diskusi bertajuk “Quo Vadis RUU Kepailitan dan PKPU” di kantor Hukumonline, Kamis (14/11). Foto: RES
Partner pada kantor hukum ADCO Law, Rizky Dwinanto (kiri) dan akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Teddy Anggoro (kanan) dalam diskusi bertajuk “Quo Vadis RUU Kepailitan dan PKPU” di kantor Hukumonline, Kamis (14/11). Foto: RES

Revisi Undang Undang (RUU) Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mendesak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024. Pasalnya, kehadiran perbaikan UU Nomor 37 Tahun 2004 tersebut menjadi indikator keseriusan negara memperbaiki kemudahaan investasi di Indonesia. Setidaknya terdapat 16 poin pembenahaan dalam UU tersebut yang dirumuskan dalam naskah akademik pada 2018 silam.

 

Salah satu poin yang ditekankan dalam RUU tersebut mengenai perbaikan profesionalitas kurator atau pengurus. Pengurus dalam penyelesaian perkara PKPU memiliki peran penting dalam penyelesaian PKPU. Sayangnya, peran pengurus sering dianggap tidak bekerja secara profesional. Padahal biaya jasa profesi tersebut tinggi dalam suatu perkara PKPU.

 

“Dalam RUU Kepailitan dan PKPU ini saya menyarankan perbaikan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pengurus. Banyak sekali pengurus hanya bertindak jadi fasilitator rapat, undang rapat. Saya merasa kalau  seperti itu kerjanya apa pantas mendapatkan fee sekitar 8 persen dari total sengketa. Saya rekomendasikan revisi itu harus memberi batas-batasan rigid terhadap peran pengurus,” jelas praktisi hukum dan advokat dari ADCO Law, Rizky Dwinanto dalam diskusi bertajuk “Quo Vadis RUU Kepailitan dan PKPU” di kantor Hukumonline, Kamis (14/11/2019).

 

Perlu diketahui, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 11/2016 tentang Pedoman Imbalan Jasa dan Pengurus menyatakan jika PKPU selesai dengan homologasi maka pengurus bisa meminta imbalan maksimal hingga 6% dari nilai utang. Sedangkan, saat PKPU berakhir kepailitan nilai maksimal yang bisa diajukan sebesar 8%.

 

Dia menekankan dalam perbaikan RUU tersebut harus memperjelas tugas dan tanggung jawab pengurus dalam penyelesaian PKPU. Pasalnya, dalam regulasi saat ini ketentuan tersebut belum terlihat. Rizky menjelaskan salah satu peran pengurus dalam penyelesaian perkara yang sering diabaikan yaitu memberi pendapat pada proposal perdamaian. “Tugas pengurus yang sering tidak dilakukan adalah memberi pendapat pada proposal perdamaian padahal itu kewajiban UU. Pengurus harus menjelaskan bahwa proposal perdamaian ini visible, baik atau tidak baik. Tapi pengurus tidak menjalakannya (memberi opini),” tambah Rizky.

 

Atas kondisi tersebut, profesi pengurus tidak hanya memiliki kompetensi bidang hukum tapi juga harus menguasai aspek bisnis. Setidaknya, pengurus harus menguasai ilmu akuntansi seperti menyusun dan membaca laporan keuangan. Dalam UU Kepailitan dan PKPU, tugas pokok dan fungsi pengurus dalam PKPU diatur dengan jelas. Bahkan, tugas seorang pengurus tidak lebih ringan dari seorang kurator dalam perkara kepailitan.

 

Artikel hukumonline yang ditulis  seorang kurator dan pengurus G.P.  Aji Wijaya menyatakan tugas seorang pengurus tidak lebih ringan dari seorang kurator, di mana seorang pengurus dituntut kemampuan dan keahliannya untuk mendampingi dan membawa debitur mencapai perdamaian dengan para krediturnya, sehingga debitur dapat menjalankan kembali usahanya ataupun utang-utang kepada para krediturnya dapat dibayar (seluruh ataupun sebagian).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait