Gonjang-ganjing Kartel, KPPU Kaji Aturan dan Rantai Penjualan Nikel
Berita

Gonjang-ganjing Kartel, KPPU Kaji Aturan dan Rantai Penjualan Nikel

KPPU memeriksa adanya dugaan kartel pada penjualan nikel ore perusahaan tambang ke smelter. Persoalan ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah sendiri.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
KPPU mengadakan jumpa pers terkait dugaan adanya kartel di industri nikel, Senin (18/11). Foto: MJR
KPPU mengadakan jumpa pers terkait dugaan adanya kartel di industri nikel, Senin (18/11). Foto: MJR

Persoalan nikel bijih mentah atau ore nasional masih memanas. Setelah terjadi tarik ulur pelarangan ekspor nikel ore, muncul lagi persoalan baru mengenai dugaan kartel pada penjualan hasil tambang tersebut. Berdasarkan keterangan pelaku usaha terdapat dua perusahaan pemurnian atau smelter besar yang menyerap 60 persen nikel domestik sehingga berpotensi mengatur harga penjualan.

 

Perlu diketahui, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah melarang ekspor nikel ore dengan alasan menjaga cadangan sekaligus mengevaluasi indikasi pelanggaran ekspor per 29 Oktober. Dalam keputusan tersebut disepakati harga nikel yang akan diserap smelter paska pelarangan ekspor (29/10/2019) dengan harga US$ 30 per metrik ton. Harga tersebut dianggap perusahaan tambang terlalu murah karena berdasarkan Shanghai Metals Market harga nikel bisa mencapai US$ 46 per metrik ton. Sehingga, keputusan tersebut dianggap hanya menguntungkan perusahaan smelter.

 

Selain itu, keputusan BKPM tersebut juga menimbulkan kebingungan pelaku usaha. Sejatinya, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 pelarangan ekspor berlaku 1 Januari 2020. Terakhir, ketentuan waktu ekspor konsentrat yang diatur dalam seluruh peraturan di atas, dianulir dan berubah menjadi 29 Oktober 2019 lalu oleh kesepakatan yang terjadi di kantor BKPM sehari sebelumnya.

 

Atas kondisi ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki dugaan kartel tersebut. KPPU menyatakan sudah memonitor penjualan nikel ore setelah menjadi perbincangan publik. “Terkait nikel memang sudah ada monitoring dari kami sebelumnya saat jadi perhatian publik. Kami akan kaji terkait tugas kami, sehingga buat merespons persoalan nikel ini kami dari komisi sudah jadikan nikel dan smelter ini jadi penelitian kami per hari ini,” ujar Juru Bicara KPPU, Guntur Syahputra Saragih, Senin (18/11).

 

(Baca: Polemik Moratorium Ekspor Nikel, Saat Hukum Dikesampingkan)

 

Dia menjelaskan dalam objek penelitian tersebut pihaknya akan mengkaji beberapa aspek seperti regulasi dan industri atau penjualan nikel ore. Jika terdapat bukti kartel maka KPPU akan menyelidiki persoalan ini dengan memanggil para pihak terkait. Namun, Guntur menambahkan apabila tidak ditemukan pelanggaran maka pemeriksaan persoalan ini akan dihentikan.

 

Dalam kesempatan sama, Direktur Ekonomi KPPU Zulfirmansyah menjelaskan pelarangan ekspor nikel ore ini memang bisa berpotensi terjadi kartel. Hal ini terjadi karena konsentrasi pasar semakin tinggi karena area penjualan hanya diizinkan di dalam negeri. “Kalau ada dugaan (pelanggaran), ada permasalahan regulasi terkait pricing di hulu. Konsentrasi pasar tinggi sehingga dapat melemahkan (perusahaan tambang).” jelas Firman.

 

Masalah kebijakan pelarangan ekspor nikel juga tengah menjadi sorotan Ombudsman RI. Anggota Ombudsman Laode Ida  menyatakan pihaknya tengah melakukan investigasi khusus terkait dampak kebijakan penghentian ekspor nikel karena dianggap hanya menguntungkan sekelompok masyarakat.

Tags:

Berita Terkait