Hukum Mengapung di Samudera Etika
Resensi

Hukum Mengapung di Samudera Etika

Sudah banyak karya yang mengulas tentang etika profesi hukum. Sekadar kata-kata manis di atas kertas jika tak dijalankan dengan baik.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Buku Etika Profesi Hukum.
Buku Etika Profesi Hukum.

Nama Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969), acapkali dikaitkan dengan etika profesi hukum. Kata-kata Warren ‘law floats in a sea of ethics’, hukum mengapung di atas samudera etika, sangat familiar di kalangan pengkaji etika hukum. Kalimat itu kira-kira bermakna jika air samudera etika tidak mengalir, maka hukum tidak mungkin ditegakkan dengan adil.

Hukum ditegakkan antara lain olrh hakim-hakim yang bertugas di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pada dasarnya adalah kerja tim, kumpulan hakim agung, bukan potret individual. Tetapi selalu ada yang menjadi bintang. Earl Warren salah satunya. Dalam buku yang diterbitkan untuk menghormatinya, The Supreme Court Under Earl Warren (1972: 3), Warren digambarkan sebagai ‘symbol of the (US Supreme) Court, literally its head, figuratively its heart’. Ini menggambarkan betapa pentingnya peran Warren pada masa ketika Amerika Serikat menghadapi masalah rasisme.

Prof. Jimly Asshiddiqie juga mengutip kalimat Warren ketika membahas hubungan antara hukum, etika, dan agama. Hubungannya dapat berupa ‘luar-dalam’ atau ‘luas-sempit’. Dalam relasi pertama, hubungan hukum, etika dan agama laksana nasi bungkus. Hukum itu adalah bungkusnya, sedangkan nasi beserta lauk pauknya adalah etika; dan segala zat protein, vitamin yang terkandung di dalamnya adalah agama. Dalam hubungan kedua, etika lebih luas dari hukum yang lebih sempit. Karena itu setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan  juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika itu lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial untuk bekerjanya sistem hukum. Jika etika diibaratkan sebagai samudera, maka kapalnya adalah hukum. “Law floats in a sea of ethics”, kata Warren. (Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, 2014).

Ucapan Warren itu pula yang disitir Farid Wajdi ketika memberikan pengantar untuk buku lama yang kemudian direvisi: ‘Etika Profesi Hukum’. Farid, seorang akademisi yang kini menjadi komisioner Komisi Yudisial Republik Indonesia, memandang bahwa etika adalah persoalan yang selalu aktual, malah cenderung semakin diakui sebagaimana tampak pada terbentuknya institusi-institusi penegak kode etik. Kehadiran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), misalnya, membawa paradigm baru penegakan kode etik. Dari yang semula terkesan tertutup berselimutkan espirit d’corps menjadi terbuka.

Persoalan etika sudah lama mendapat perhatian kalangan hukum, di level nasional dan internasional. Semua profesi hukum memiliki kode etik yang harus ditaati. Dalam menjalankan profesi, selalu ada tantangan dan peluang yang membuka kemungkinan pelanggaran kode etik terjadi. Profesi hukum dihadapkan setidaknya pada lima tantangan. Pertama, kualitas pengetahuan professional hukum, penyalahgunaan profesi, kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis, penurunan kesadaran dan kepedulian sosial, serta kontinuitas sistem yang sudah usang. Melaksanakan etika dengan baik adalah jalan bagi profesi hukum dalam menghadapi semua tantangan itu (hal. 104-105).

(Baca juga: Sejumlah Kriteria Anggota Dewan Pengawas KPK).

Penegakan kode etik tak segampang yang dibayangkan, dan tak semanis rumusan kode etiknya. Acapkali sidang kode etik digelar sekadar menghindari seseorang dibawa ke proses persidangan ajudikasi di pengadilan. Sidang kode etik malah mungkin digunakan untuk membersihkan nama orang yang dituduh. Sidang kode etik seorang politisi, misalnya, memutuskan tidak ada pelanggaran, tetapi tak lama kemudian politisi itu tersandung perkara hukum yang serius. Ironisnya lagi, adakalanya etika dan hukum dipandang tidak punya hubungan, seolah-olah dua hal yang terpisah. Seorang advokat yang terkena OTT KPK, misalnya, langsung diproses pidana. Proses penegakan kode etiknya berjalan tertatih-tatih, malah mungkin terlupa.

Buku yang ditulis Farid ini, dari sisi substansi, sama dengan referensi sejenis yang sudah banyak diterbitkan. Yang sedikit berbeda, barangkali, adalah uraian tentang beberapa konsep yang berjejalin kuat dengan etika. Setidaknya, ada tiga konsep yang diuraikan pria kelahiran 2 Agustus 1970 itu: baik-buruk, keadilan, dan hak asasi manusia.

Tags:

Berita Terkait