DPR Sebut Pemilu Serentak Amanat Putusan MK
Berita

DPR Sebut Pemilu Serentak Amanat Putusan MK

DPR menganggap keinginan Pemohon yang meminta pemilihan anggota DPRD (pemilu serentak nasional) digabung dengan pilkada (serentak daerah) tidak sejalan dengan UUD 1945.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menganggap pemilu serentak merupakan amanat atau tindak lanjut Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 terkait penyelenggaraan pemilu serentak. Putusan MK itu mengabulkan lima permohonan untuk sebagian dan membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Dalam pertimbangannya, putusan MK itu pada intinya untuk memperkuat sistem presidensial.

 

“Kemudian, pembentuk UU membuat aturan terkait kepemiluan dalam satu naskah dan memasukkan (desain) pemilu serentak, sehingga pemilu serentak telah sesuai Putusan MK,” ujar Anggota Komisi III DPR Taufik Basari saat memberi keterangan dalam sidang uji materi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) di ruang sidang MK, Senin (18/11/2019).

 

Taufik Basari menerangkan pembentuk UU melakukan kodefikasi berbagai UU terkait kepemiluan dalam satu naskah UU atas dasar perintah Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak. Sebelumnya, aturan pemilu tersebar di berbagai UU diantaranya UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu; UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPR dan DPRD; dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

 

Dalil Pemohon Perkara No. 37/PUU-XVII/2019 terdapat data kematian petugas pemilu dalam pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019, menurut DPR tidak memiliki korelasi dengan berlakunya pasal-pasal yang diuji. Kalaupun terdapat masalah atau kekurangan penyelenggaraan pemilu serentak, ini menjadi bahan evaluasi para penyelenggara pemilu agar lebih baik lagi. “Dalil para pemohon tidak relevan, kami menganggap opini itu bersifat asumtif,” kata dia.

 

Menanggapi permohonan No. 55/PUU-XVII/2019, Anggota Komisi III DPR lain, Habibukrohman mengingatkan pilkada merupakan bagian rezim pemerintahan daerah sesuai Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945, bukan rezim pemilu sesuai Pasal 22E UUD 1945. “Karena itu, keinginan Pemohon yang meminta pemilihan anggota DPRD digabung dengan pilkada tidak sejalan dengan UUD Tahun 1945,” kata Habibukrohman. (Baca Juga: Perludem Minta Pemilu Serentak Nasional dan Daerah Terpisah)

 

Menurutnya, desain pemilu serentak diinginkan pemohon agar penyelenggaraan pemilu dibagi menjadi pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah tidak berdasar. Hal ini bisa berakibat tidak efektifnya jalannya roda pemerintahan. Karena itu, terkait masa jabatan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, walikota-wakil walikota hasil pilkada tahun 2020 menjabat sampai tahun 2024 untuk dibatalkan sesuai Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada juga tidak relevan.  

 

“Aturan itu implikasi keputusan yang diambil dalam pembahasan UU bahwa pilkada serentak nasional diagendakan pada 2024. Pilkada serentak nasional ini rangkaian pelaksanaan secara bertahap sejak 2015, 2017, dan 2018,” kata dia.  

Tags:

Berita Terkait