Polemik Ganti Kerugian Korban First Travel, Ada Ketentuan yang ‘Ketinggalan’ Sejak Awal
Berita

Polemik Ganti Kerugian Korban First Travel, Ada Ketentuan yang ‘Ketinggalan’ Sejak Awal

Ganti rugi untuk korban pidana dapat dilakukan melalui penggabungan perkara dengan ganti kerugian.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: youtube.com
Foto: youtube.com

Publik hukum Tanah Air, terutama para korban penipuan dan pencucian uang calon Jemaah umroh First Travel dikagetkan dengan rencana lelang barang bukti yang akan dilakukan oleh Kejasaan Negeri Depok. Barang bukti tersebut merupakan hasil sitaan aparat penegak hukum atas proses hukum yang dihadapi oleh pihak First Travel yang telah merugikan sekitar 6000-an calon Jemaah umroh yang tersebar hampir di seluruh wilayah Tanah Air.

Sontak saja rencana ini menuai kekecewaan dan protes dari pihak korban. Bagaimana tidak, saat ini sejumlah korban penipuan First Travel tengah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Depok untuk memperoleh kembali ganti kerugian atas hak mereka yang tidak dapat berangkat umroh akibat uang yang disetorkan ke biro perjalan umrah First Travel disalahgunakan.

Tidak hanya itu, sebagian korban penipuan dan pencusian uang Jemaah umroh First Travel pun hingga saat ini masih mengaharapkan agar memperoleh solusi dari pemerintah atas batalnya keberangkatan umroh mereka ke tanah suci.

Jika memperhatikan pernyataan dari Kepala Kejaksaan Negeri Depok, Yudi Triadi yang akan melakukan proses lelang terhadap barang bukti dan sitaan, hal ini tentu saja berdasarkan Putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 tertanggal 31 Januari 2019 yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan Kasasi MA tersebut memperkuat putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tingkat Banding. “Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum dan Pemohon Kasasi II/para Terdakwa tersebut dinyatakan ditolak,” demikian kutipan salinan putusan Kasasi MA tertanggal 31 Januari 2019.

Putusan PN Depok Nomor 83/Pid.B/2018/PN.Dpk tertanggal 30 Mei 2018, pada poin ke lima dari putusan ini menyebutkan sejumlah barang bukti yang disita dirampas untuk negara. “Barang bukti Nomor urut 147 sampai dengan Nomor urut 233 dirampas untuk negara,” salinan Putusan PN Depok tertanggal 30 Mei 2018. Tidak hanya itu, masih banyak barang bukti lainnya yang ikut disita berdasarkan putusan PN Depok.

Hal ini yang menuai polemik di pihak korban. Tuntutan agar kerugian uang yang dialami oleh korban untuk dapat dikembalikan lagi, hingga saat ini nampaknya tidak akan kesampaian mengingat tiga putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap telah menetapkan agar barang bukti dan sitaan aparat penegak hukum dirampas untuk negara.

Ketua Indonesia Judicial Riset Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana menegaskan maksud dari amar putusan Pengadilan Negeri Depok yang  menyebutkan bahwasanya barang bukti dirampas untuk negara adalah barang bukti tersebut resmi menjadi milik negara dan akan melalui proses lelang di kemudian hari. hasil dari lelang tersebut akan menjadi bagian dari penerimaan negara. “Barang sitaan itu menjadi resmi milik negara dan di lelang. Hasilnya itu akan menjadi penerimaan negara,” ujar Dio kepada hukumonline, Rabu (19/11).

Tags:

Berita Terkait