Euthanasia dan Ancaman Pasal 344 KUH Pidana
Berita

Euthanasia dan Ancaman Pasal 344 KUH Pidana

Di Indonesia, orang yang membantu pasien melakukan euthanasia dapat dipidana. Mungkin saja ada yang melakukannya diam-diam.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi suntik mati atau euthanasia terhalang Pasal 344 KUHP. Ilustrator: HGW
Ilustrasi suntik mati atau euthanasia terhalang Pasal 344 KUHP. Ilustrator: HGW

Pelaksanaan euthanasia atau suntik mati di Indonesia terhalang oleh keberadaan Pasal 344 KUHP dan sumpah dokter Indonesia. Perdebatan mengenai euthanasia berlangsung global, dan mulai ada negara yang mengizinkan pasien yang sakit berat mengajukan permohonan izin. Di Indonesia, perhatian terhadap masa depan euthanasia sudah lama muncul meskipun kasusnya jarang terjadi.

Simaklah apa yang ditulis Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto pada 1984 dalam buku mereka ‘Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana’. Mereka antara lain menulis begini: “Untuk masa mendatang, dalam rangka ius constituendum hukum pidana, rumusan Pasal 344 KUHP tersebut, perlu untuk dirumuskan kembali, agar dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam hal pembuktiannya”.

Ketika menulis buku itu, Djoko dan Andi Nirwanto kesulitan memberikan contoh euthanasia di Indonesia berhubungan kesulitan bagi dokter untuk menjalankannya. Tetapi bukan berarti tidak ada suntik mati yang dilakukan sepanjang sejarah medis di Indonesia. Mereka menduga mungkin saja euthanasia dilakukan diam-diam. Mungkin saja suatu saat euthanasia itu dilegalkan. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi jika euthanasia ingin dinyatakan sebagai perbuatan yang tidak dilarang. Pertama, kondisi pasien sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawat. Kedua, usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi membuat pasien sehat. Ketiga, pasien sudah dalam keadaan yang dalam ilmu medis disebut in a persistent vegetative state (mati tidak, hidup pun tidak).

(Baca juga: Euthanasia di Indonesia, Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat).

Untuk dapat melegalkan euthanasia, salah satu jalan keluarnya adalah merevisi total Pasal 344 KUHP. Pasal ini berbunyi: ‘Barangsiapa yang merampas jiwa orang lain atas permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan dari orang lain itu, diancam dengan pidana penjara maksimum dua belas tahun”. Selanjutnya, Pasal 345 menyebutkan “Barangsiapa mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolong dia untuk melakukannya atau memberi sarana kepadanya untuk itu, maka jika orang lain itu jadi bunuh diri, diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun”.

SR Sianturi (1983: 495-496), dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya menjelaskan bahwa Pasal 344 dan 345 KUHP erat kaitannya dengan masalah bunuh diri. Perbedaannya terletak pada kehendak objek. Dalam Pasal 344 KUHP, kehendak mati datang dari objek; sebaliknya dalam Pasal 345 KUHP objeknya mungkin masih ragu atau malah tidak ada keinginan untuk bunuh diri. Dari sisi hukuman, sanksi Pasal 344 jauh lebih berat dibandingkan pasal 345. Perbedaan ini berhubungan dengan filosofi lahirnya Pasal 344 KUHP. Menurut Sianturi, pembentuk undang-undang bertolak dari pemikiran bahwa setiap orang harus menghormati jiwa orang lain. Ini juga sejalan dengan ajaran agama yang percaya bahwa nyawa seseorang adalah kuasa Tuhan. Sedangkan dalam Pasal 345, orang lain hanya sekadar mendorong atau pembantu seseorang melakukan bunuh diri, sehingga hukumannya lebih ringan.

Sungguh-sungguh dan meyakinkan

Sesuai putusan Hoge Raad 8 Februari 1944, inti delik Pasal 344 adalah pembunuhan sebagaimana disebut dalam Pasal 338 KUHP. Namun Sianturi menggarisbawahi frasa ‘permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan’ dalam Pasal 344. Ada lagi yang menyebutnya ‘permintaan yang tegas (uitdrukkelijk) dan sungguh-sungguh (ernstig).

Pembuktiannya adalah melalui surat permintaan yang ditulis pasien sebelum meninggal dunia. Jika tidak ada surat? Seringkali hanya dapat dinilai dari keadaan pasien semasa hidupnya. Misalnya ia dalam keadaan sekarat menghadapi maut, putus asa, kemelaratan yang luar biasa, atau selalu dirundung malang. Frasa tersebut, bagi Sianturi, berarti tidak sekadar permintaan saja. Mungkin saja kalimat tertentu diucapkan karena kesal. Jika permintaan itu disampaikan anak di bawah umur, atau orang yang sakit jiwa, maka tidak ada alasan untuk menyebut permintaan itu sungguh-sungguh dan meyakinkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait