Polemik Putusan MA dalam Kasus First Travel
Utama

Polemik Putusan MA dalam Kasus First Travel

YLKI menilai Hakim MA seharusnya membuat putusan terobosan di perkara First Travel. KY beranggapan putusan yang ditetapkan oleh majelis hakim tentang aset First Travel tidak menyalahi, baik secara aturan maupun etik.

Oleh:
Fitri Novia Heriani/Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Polemik Putusan MA dalam Kasus First Travel
Hukumonline

Jamaah korban umroh bodong First Travel bereaksi terhadap putusan perkara First Travel yang diputus oleh Mahkamah Agung (MA). Meski pemilik First Travel divonis hukuman pidana 20 tahun dan 18 tahun penjara, namun seluruh aset perusahaan yang menjadi barang bukti tidak dikembalikan kepada jemaah.

 

Aset-aset tersebut menjadi barang rampasan negara yang artinya tidak dikembalikan kepada jemaah melainkan jadi rampasan negara. Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Depok pun akhirnya dikuatkan MA dalam putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018.

 

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan jika putusan MA itu menjadi anomali. Pasalnya, aset First Travel yang tersisa sudah selayaknya menjadi hak jamaah First Travel yang tertipu dari promo umrah bodong tersebut. Dalam perkara ini, negara tidak mengalami kerugian sehingga putusan tersebut dinilai salah jalur.

 

“Seharusnya memang hak konsumen, tahu-tahu (aset) untuk negara. Itu tidak ada jalurnya sebenarnya karena bukan kerugian negara, itu konsumen yang dirugikan, malah negara diuntungkan,” katanya kepada hukumonline, Jumat (22/11).

 

Tulus menilai, seharusnya negara ikut berkontribusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh jamaah First Travel. Namun putusan MA ini justru menimbulkan masalah baru. Padahal, lanjutnya, dari perkara First Travel ini majelis hakim MA bisa membuat terobosan agar tidak memicu konflik di publik, terutama untuk jamaah First Travel.

 

Salah satu terobosan yang dimaksud Tulus adalah dengan membuat sebuah lembaga ganti rugi khusus untuk perkara First Travel. Lembaga ini nantinya menjadi wadah untuk membahas dan membuat formulasi ganti rugi yang sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah dan jamaah First Travel, mengingat aset yang tersisa tidak mungkin cukup jika digunakan untuk memberangkatkan umroh seluruh jamaah.

 

“Harusnya putusan hakim itu membuat terobosan, misalnya kenapa tidak dibuat komisi ganti rugi untuk memformulasikan aset, bagaimana pembagiannya. Karena memang saya kira asetnya yang disita untuk umroh enggak mungkin. Harusnya hakim membuat komisi ganti rugi itu untuk membuat formulasi kira-kira dalam bentuk apa pengembalian kerugian, agar emosi jamaah tidak merasa dirugikan oleh putusan tersebut,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait