IDI Minta Revisi UU Kedokteran Masuk Prolegnas
Berita

IDI Minta Revisi UU Kedokteran Masuk Prolegnas

Karena masih banyak kelemahan dalam UU 20/2013. Seperti masa pendidikan kedokteran yang terlalu lama dan mahal, kurangnya dokter spesialis, hingga distribusi tenaga dokter yang tidak merata.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait RUU Pendidikan Kedokteran di ruang Baleg DPR, Senin (25/11/2019). Foto: RFQ
Suasana rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait RUU Pendidikan Kedokteran di ruang Baleg DPR, Senin (25/11/2019). Foto: RFQ

Sempat tertunda kelanjutan pembahasan Revisi UU No.20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) IDI kembali mendorong Badan Legislasi (Baleg)  melanjutkan pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran. Karena itu, IDI meminta DPR memasukkan RUU UU Kedokteran dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.

 

Ketua IDI Daeng Muhammad Faqih mengatakan RUU Pendidikan Kedokteran diharapkan beragam persoalan pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan dapat diatasi. Dia membandingkan pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan dengan negara-negara di ASEAN yang sudah sedemikian berkembang maju.  

 

“Persoalan kesehatan kita masih banyak. Di banding Vietnam dan Kamboja, kita masih kalah. Kita masih banyak tertinggal,” ujar Daeng dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di ruang Baleg DPR, Senin (25/11/2019).

 

Terlebih, banyak persoalan dalam pelayanan BPJS Kesehatan yang perlu diurai dan diperbaiki melalui RUU Pendidikan Kedokteran. Sebab, hulunya pelayanan kesehatan adalah pendidikan kedokteran. Setidaknya, kata Daeng, terdapat empat hal/alasan yang mendorong perlunya merevisi UU Pendidikan Kedokteran.

 

Pertama, IDI merasa kekurangan dokter spesialis. Berdasarkan data yang dimiliki, dokter di Indonesia yang mengurus surat tanda registrasi berjumlah sekitar 168 ribu orang. Sementara 138 ribu diantaranya adalah dokter umum, sisanya dokter spesialis. “Selama  ini di Indonesia, kita kesulitan memberikan pelayanan kesehatan spesialis,” ujarnya.

 

Kedua, bagi mahasiswa yang lulus dari fakultas kedokteran yang hendak melanjutkan pendidikan spesialis membutuhkan biaya yang mahal. Belum lagi, sulitnya untuk dapat lulus menempuh pendidikan kedokteran spesialis. “Lebih sulit orang masuk sekolah kedokteran dan mahal, jadi perlu diubah.”

 

Ketiga, distribusi kedokteran. Menurutnya, penyebaran dokter di seluruh Indonesia tidak merata. “Perlunya merevisi UU Pendidikan Kedokteran memungkinkan pengaturan distribusi tenaga dokter menjadi lebih mudah.”

Tags:

Berita Terkait