Imparsial Minta SKB Penanganan Radikalisme ASN Dicabut
Berita

Imparsial Minta SKB Penanganan Radikalisme ASN Dicabut

SKB ini dinilai sebagai kebijakan yang eksesif (melampaui kebiasaan) yang berpotensi menimbulkan masalah baru yang berujung membatasi kebebasan berekspresi dan sewenang-wenang terhadap ASN.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Berbagai upaya pemerintah untuk mencegah dan menangani persoalan radikalisme turut menyasar kalangan aparatur sipil negara (ASN) sebagai abdi negara. Salah satunya, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme Dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan Pada Aparatur Sipil Negara.

 

SKB ini diteken 6 Menteri, dan 5 Kepala Badan/Komisi yakni Menpan dan RB, Mendagri, Menkumham, Menteri Agama, Mendikbud, Menkominfo, Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BKN, Kepala BPIP, Ketua Komisi ASN. SKB ini menuai kritik dari berbagai kalangan antara lain organisasi masyarakat sipil.

 

Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai kebijakan ini bentuk kebijakan eksesif (melampaui kebiasaan) dalam penanganan persoalan radikalisme di kalangan ASN. Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan ini justru berpotensi memunculkan masalah baru yang berujung membatasi kebebasan berekspresi dan tindakan sewenang-wenang terhadap ASN. Keberadaan portal aduan ASN juga berpotensi menjadi instrumen politik kontrol terhadap ASN dan sebagai alat kontestasi antar sesama ASN.

 

Gufron berpendapat sifat eksesif kebijakan ini dapat dilihat dari konsep ujaran kebencian sebagaimana tertuang dalam SKB yang memuat beberapa 11 jenis pelanggaran yang bersifat multitafsir. Misalnya, “ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan pemerintah.” Sebab, batasannya tidak jelas, sehingga dapat ditafsirkan secara subyektif untuk melaporkan ASN yang dianggap melanggar aturan tersebut.

 

Dia mengingatkan peraturan yang ada mengenai larangn ujaran kebencian telah diatur dalam KUHP, UU ITE, dan UU Penghapusan Diskriminasi. Meski berbagai peraturan itu belum sempurna, tapi tujuannya untuk melindungi individu. Menurut Gufron, ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah tidak dikenal dalam hukum.

 

Baginya, menyatakan seseorang melakukan penyebaran ujaran kebencian atau tidak, paling utama harus dilakukan pembuktian sesuai peraturan yang berlaku. “Pembuktian itu harus dilakukan melalui mekanisme peradilan yang adil, bukan melalui tindakan administrasi negara. Apalagi berdasarkan laporan online,” kata Gufron ketika dikonfirmasi, Rabu (27/11/2019). Baca Juga: Beragam Kritik atas SKB Penanganan Radikalisme ASN

 

Menurutnya, tim satgas lintas kementerian/lembaga tidak berwenang menyatakan seorang ASN telah melakukan ujaran kebencian dan/atau penyebaran berita yang menyesatkan karena ini ranah/wewenang lembaga peradilan. Dia melanjutkan penyebaran ujaran kebencian yang masif di ruang publik terutama di media sosial harus ditangkal dan ditangani serius. Penyebaran ujaran ini tidak hanya menyerang martabat manusia, tetapi juga berdampak pada terancamnya keberagaman sosial di masyarakat.

Tags:

Berita Terkait