Bersama-sama Merumuskan Revisi UU Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia
Berita

Bersama-sama Merumuskan Revisi UU Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia

Kongres Advokat Indonesia (KAI) mengucapkan selamat kepada seluruh advokat Indonesia atas putusan mahkamah yang tetap memberikan kebebasan dan kemandirian kepada organisasi advokat.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Adv. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, Presiden KAI dengan masa jabatan 2019-2024.  
Adv. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, Presiden KAI dengan masa jabatan 2019-2024.  

Hasil Rapat Permusyawaratan 9 Hakim Konstitusi pada Senin (7/10/2019) telah diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Kamis (28/11). Perkara Nomor: 35/PUU-VII/2018 ini pada pokoknya memohonkan seluruh frasa ‘Organisasi Advokat’ yang menguraikan 15 kewenangan dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dijalankan oleh PERADI. Atas permohonan ini Kongres Advokat Indonesia (KAI) Pimpinan Adv. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto dan Adv. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto maju sebagai pribadi menjadi Pihak Terkait.

 

Mahkamah dalam putusannnya menyatakan: menolak permohonan para pemohon seluruhnya. Sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini, ada yang menarik dan sangat penting bagi Kongres Advokat Indoensia yang sejak dulu mendorong Revisi Undang-Undang Advokat. dalam uraiannya pada perkara ini, pemerintah memberikan pandangannya terkait Politik Hukum Pemerintah terhadap UU Advokat, yakni:

 

“Dalam perjalanan kurang lebih 15 tahun keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ternyata didalam implementasinya telah menimbulkan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan berbagai pihak terutama beberapa organisasi advokat selain Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) terbukti bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah diuji ke Mahkamah Konstitusi sebanyak 22 kali.”

 

Demikian rancang bangun politik hukum advokat di Indonesia yang beberapa waktu lalu telah dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar di dalam putusannya memerintahkan kepada pembentuk undang-undang—agar segera membahas kembali RUU Advokat tersebut yang telah dibahas pada masa lalu. [vide: hlm. 90-92].

 

Begitu pula pendapat Pihak Terkait Mahkamah Agung. Ada hal menarik yang perlu di simak, yakni:

 

“Sepanjang catatan yang diketahui oleh Pihak Terkait, sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 disahkan hingga sekarang, regulasi tentang Advokat ini telah 19 kali diuji di Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu bisa ditinjau dari 2 sisi. Pertama, bahwa adanya semangat perbaikan terus menerus terhadap kualitas penegakan hukum secara konstitusional; atau kedua: hanya "libido" kekuasaan semata untuk meraih eksistensi diri maupun keuntungan pribadi melalui organisasi profesi. Kalau tujuan pertama yang hendak disasar oleh para pemohon uji materi Undang-Undang Advokat ini, tentu kita semua, bangsa Indonesia harus mendukungnya akan tetapi kalau kemudian hanya demi meraih kekuasaan dan melanggengkan konflik kepentingan, maka tidak salah kalau kita diingatkan oleh peribahasa lama: Buruk rupa, Mahkamah dibelah!” [vide : hlm. 92-93].

 

Selain itu yang perlu dicatat, hlm. 317 huruf c paragraf 2 baris ke-1 dalam putusan ini, "Terhadap permasalahan tersebut, dengan mendasarkan pada pernyataan Mahkamah Agung dalam persidangan perkara a quo yang menyatakan tidak ingin lagi terseret pada konflik serta tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi (PERADI dan KAI) yang bertikai, Mahkamah berpendapat, demi terwujudnya asas kemanfaatan (kemaslahatan) hukum dan terjaminnya asas keadilan serta terlaksananya asas kepastian hukum khususnya bagi para calon advokat, bahwa dengan telah lewatnya masa dua tahun sebagaimana amar putusan Mahkamah dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009."

 

Sementara baris ke-40, "Selain itu, yang dimaksud dengan frasa “Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada” dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 di atas, konteksnya adalah merujuk pada Organisasi PERADI dan KAI."

Tags:

Berita Terkait