Menanti Pembaharuan Aturan Kepemilikan Bank
Kolom

Menanti Pembaharuan Aturan Kepemilikan Bank

​​​​​​​Persoalan implementasi single presence policy sebagaimana tertuang dalam POJK Nomor 39/POJK.03/2017 justru menyebabkan persoalan baru pada konsolidasi khususnya bank Buku I dan bank Buku II.

Bacaan 2 Menit
Rio Christiawan. Foto: Istimewa
Rio Christiawan. Foto: Istimewa

Dunia perbankan di Indonesia yang saat ini menganut asas single presence policy (kebijakan kepemilikan bank secara tunggal). Aturan kepemilikan tunggal diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 39/POJK.03/2017 tentang kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, aturan tersebut menjelaskan bahwa setiap pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank atau dimungkinkan dua jika salah satunya berprinsip campuran (join venture bank) dan syariah.

 

Secara historis pasca krisis ekonomi tahun 1998 single presence policy merupakan kebijakan yang diterapkan oleh Bank Indonesia (BI) dalam rangka mendorong konsolidasi perbankan agar dapat mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Nicholas Lash (1987), menyebutkan bahwa konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat.

 

Pada press release 29 Januari 2019 yang lalu, OJK menjelaskan bahwa konsolidasi pada industri perbankan bukan tuntutan regulasi tetapi lebih berfungsi menambah daya saing perbankan, khususnya pada bank-bank kecil yang sudah tidak mampu berkompetisi. Kini pelaku usaha perbankan mengajukan relaksasi aturan single presence policy sebagaimana tercantum dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 39/POJK.03/2017.

 

Persoalannya justru ekspansi dunia perbankan saat ini terkendala ketentuan OJK tersebut. Salah satu kendala yang dipandang menghambat pelaku industri perbankan adalah akuisisi harus disertai dengan merger sehingga hanya menjadi satu entitas untuk memenuhi single presence policy. Fungsi intermediary perbankan tentu lebih optimal jika akuisisi tidak dibarengi dengan merger, sehingga akan tetap akan ada dua entitas yang menjalankan fungsi intermediary, sehingga dipandang lebih akan mendorong perekonomian nasional.

 

Persoalan implementasi single presence policy sebagaimana tertuang dalam POJK Nomor 39/POJK.03/2017 justru menyebabkan persoalan baru pada konsolidasi khususnya bank Buku I dan bank Buku II. Persoalannya adalah threshold kepemilikan saham pengendali, sehingga jika bank tersebut mendapat permodalan dari investor yang telah memiliki bank lain maka jika melebihi 25 persen dan tanpa dilakukan merger akan terkendala ketentuan single presence policy.

 

Sedangkan pertimbangan melakukan akuisisi disertai merger dalam hal ini tentu akan memperhitungkan banyak hal, persoalannya tentu akan lebih sederhana jika opsi kewajiban merger dapat dihindari, karena menyatukan dua entitas tentu memerlukan waktu dan memiliki lebih banyak kendala. Sehingga proposal relaksasi POJK Nomor 39/POJK.03/2017 terkait single presence policy adalah untuk menambah batas maksimal (threshold) kepemilikan saham, yang kini hanya 25 persen telah dikualifikasikan sebagai pemegang saham pengendali (PSP).

 

Tujuan Relaksasi

Pradjoto (2018), menyatakan bahwa revisi ketentuan POJK Nomor 39/POJK.03/2017 memiliki tujuan utama yakni mendorong mengembalikan fungsi intermediary Bank buku I dan II yang sudah kesulitan menjalankan fungsi intermediary. Persoalan intermediary disebabkan karena ratio funding dan lending yang tidak seimbang, tingginya non performing loan (NPL) maupun sebab operasional lainnya.

Tags:

Berita Terkait